Benahi Moralitas Pejabat

Advertisement

Masukkan script iklan 970x90px

Benahi Moralitas Pejabat

Admin
Saturday, October 12, 2019

(Foto/Jambiterbit.com).


Benahi Moralitas Pejabat


Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan Presiden terpilih Joko Wido¬do dan Ma’ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2019–2024 pada tanggal 17 April 2019, lalu disusul pengumuman anggota dewan per¬wakilan rakyat terpilih (kabu¬paten, provinsi, pusat), dan dewan perwakilan daerah un¬tuk masa lima tahun ke depan. Selain itu, pada kesempatan yang lain, dilakukan pemilihan umum untuk gubernur, kepala daerah, dan kepala desa.
Mereka merupakan calon pemimpin produk zaman¬nya, yang seharusnya dipilih karena memiliki keunggulan pribadi sebagai pejabat publik seperti kecerdasan akal budi dan emosional. Artinya, se¬bagai pemimpin mereka ha¬rus memiliki moralitas publik, etika, dan berani memperta¬hankan yang sudah disepakati para pendiri bangsa: Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila, dan UUD 1945.

Dari dulu bangsa Indonesia memahami moralitas publik pemimpin yang sering diiden¬tikkan dengan ciri-ciri: tang¬gung jawab, ketegasan, keju¬juran, keadilan, menghargai martabat manusia, punya visi kerakyatan, dan rasa solider dengan sesama. Mereka jauh dari jebakan konflik kepentin¬gan pribadi, berbuat adil untuk semua suku, ras, golongan dan agama. Selain itu, pemimpin harus belajar dan mengem¬bangkan moralitas pribadi agar bisa mempengaruhi orang lain bahwa kepemimpi¬nannya bisa meningkatkan ke¬sejahteraan umum.

Namun akhir-akhir ini, ciri-ciri kepemimpinan tersebut semakin pudar karena tuntu¬tan dan kebutuhan masyarakat yang bersifat pragmatis. Kita bisa menyaksikan, ketika mereka berniat menjadi calon pemim¬pin terjadi perubahan cara hidup dan tingkah laku. Pada saat kampa¬nye, mereka tampak sangat ramah, royal, dan rajin berkun¬jung ke daerah untuk menen¬gok kerabat dan teman-teman. Tujuannya untuk mempererat tali keluarga dan mengumpul¬kan dana kampanye sebagai bukti dukungan. Mereka juga sambil berjanji andai sukses, para pendukungnya diberi¬kan jabatan atau dana sebagai balas jasa.

Untuk itu, dibentuk beber¬apa tim sukses seperti pencari dana, penyusun materi kampa¬nye, dan menyebarluaskan be-rita hoax untuk menyerang dan mencari kelemahan pribadi pesaing. Sisi gelap pesaingnya harus dicari dan dimasyarakat¬kan dibumbui segala macam karangan dusta. Cerita seolah fakta sehingga hoax ini sulit dibantah. Semua disebarluas¬kan lewat media sosial.

Akibatnya, berita kecu¬rangan dan hoax meningkat tajam pada Pemilu 2019 lalu dibandingkan 11 pemilu se¬belumnya. Masih tersimpan di ingatan, Pemilu 2019 lalu terjadi keruwetan di mana-mana. Banyak petugas Ke¬lompok Penyelenggara Pemu¬ngutan Suara meninggal. Ada penipuan dan jual beli suara. Ini bukan saja menjadi senjata untuk menjatuhkan kubu pe¬saing, tetapi yang paling meri¬saukan, berpotensi memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Itu bisa memudarkan kepedulian kepada sesama, mengentalnya isu agama, ras, dan golongan.

Sedangkan calon pemim¬pin terpilih siap dilantik men¬jadi pejabat. Walaupun, se¬telah dilantik, muncul beban membalas budi dan mengem¬balikan dana pinjaman. Mo¬ralitas kepemimpinan tidak lagi menjadi acuan bekerja se¬hingga mereka tidak takut un¬tuk korupsi. Sialnya, banyak dari mereka tertangkap tangan oleh anggota Komisi Pember¬antasan Korupsi (KPK). Inilah beberapa kendala serius sistem pemilu sekarang, sulit sekali rakyat memilih calon pemim¬pin berdasarkan pertimbangan moralitas publik.

Pola Pencalonan

Dalam konteks itulah, kita perlu merefleksikan kembali pola pencalonan. Ini bukan saja tergantung penampilan fisik, tetapi jauh lebih penting sehat moralnya. Itu hanya dik¬etahui dari perjalanan seja¬rah hidup masa lalu dan kini. Maka, Presiden sebagai Kepala Negara perlu membenahi mo¬ralitas publik pemimpin. Ber¬samaan dengan itu, rakyat di¬beri kesadaran memilih calon pemimpin yang tepat.

Pemimpin tak perlu harus memiliki banyak kemampuan. Dia adalah produk zaman¬nya. Dia sendiri harus jujur memahami kemampuannya. Kesadaran ini mendorong dia bisa meningkatkan mutu prib¬adi yang berkaitan dengan mo-ralitas publik, sehingga peka untuk menilai keadaan ma¬syarakatnya.

Kita menyaksikan rakyat se¬karang cenderung berada da¬lam keadaan anomali (tidak taat aturan/nilai) sehingga ter¬jadi kekacauan di mana-mana. Contoh, heboh kecurangan dan hiruk pikuk pelaksanaan kam¬panye pemilu yang lalu. Hal ini terjadi sejak awal kampanye sampai pada pengumuman pemenang. Malahan sesudah diumumkan, masih banyak pihak melakukan perlawanan karena merasa tidak puas. Mer¬eka melakukan unjuk rasa dan beperkara di Mahkamah Kon¬stitus. Belum lagi calon yang di¬nyatakan gagal, terus melaku¬kan protes dan naik banding atas pengumuman KPU.

Berbeda dengan calon pemimpin yang menang berta¬rung. Dia langsung mengadakan syukur di mana-mana, walau dalam hati kecilnya masih ter¬simpan beban cara membalas budi baik dan pengorbanan tim sukses. Tidak heran, beberapa kepala desa, bupati, gubernur, anggota DPR/DPD terpaksa korupsi. Kemudian mereka ter¬kena operasi tangkap tangan (OTT) KPK. Artinya, mereka ti¬dak punya kepekaan terhadap moralitas publik, tetapi lebih terdorong motivasi pribadi menjadi kaya dan mengemba¬likan dana kampanye.

Situasi seperti itu karena be¬gitu sulit menemukan pemim¬pin ideal. Sebab tim suksesnya bermain sandiwara dan sengaja menyembunyikan kelemahan-kelemahannya. Padahal, inti moralitas publik adalah berpikir, berbicara, dan berbuat untuk kesejahteraan umum. Moralitas publik merupakan modal dasar yang harus menyatu dalam diri pribadi calon pemimpin. Di dalamnya, ada kesadaran untuk taat hukum baik tertulis mau¬pun tidak (kode etik). Bila ada pelanggaran, diterapkan sanksi hukum kepada siapa pun, ter¬masuk dirinya.

*Penulis mantan anggota DPR