Polemik Revisi UU Pilkada: langsung atau tidak langsung?

Advertisement

Masukkan script iklan 970x90px

Polemik Revisi UU Pilkada: langsung atau tidak langsung?

Admin
Sunday, December 8, 2019


Polemik Revisi UU Pilkada: langsung atau tidak langsung?

Oleh: Bernadus Barat Daya



Pengantar Redaksi: artikel ini adalah salinan dari sebagian isi Makalah yang disampaikan dalam Seminar Sehari dengan tema “Quo Vadis Pilkada Serentak, Rakyat Berdaulat, Indonesia Maju” yang diselenggarakan oleh Forum Pemuda Peduli Demokrasi (FP2D) yang berlangsung pada Sabtu, 7 Desember 2019 di Aula Misio Universitas Katolik Indonesia (UKI) St. Paulus Ruteng-Flores, NTT. Selamat membaca.


-000-

Wacana tentang evaluasi pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang kemudian ramai diperbincangkan publik beberapa waktu terakhir ini, berawal dari ‘sentilan politik’ yang terungkap dari Tito Karnavian, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) usai mengikuti rapat kerja perdana bersama Komisi II DPR RI pada 6 November 2019. Kala itu, Tito mengungkapkan bahwa Pilkada dengan sistem pemilihan secara langsung, menimbulkan biaya tinggi dan memicu potensi korupsi dilakukan oleh banyak Kepala Daerah sebagai produk Pilkada langsung.

Tito pun bertanya: apakah sistem politik Pilkada kita masih relevan setelah 20 tahun diberlakukan? Kita akui bahwa banyak manfaat dari Pilkada langsung seperti adanya partisipasi masyarakat yang tinggi. Tapi kita juga melihat bahwa ada dampak negatif yang timbul dari pelaksanaan Pilkada langsung, terutama soal politik biaya tinggi” kata Tito.

Apa yang digulirkan Tito,kemudian memunculkan aneka pendapat publik yang pro dan kontra sekaligus. Setidaknya PDIP dan PPP mendukung pernyataan Tito untuk mengevaluasi Pilkada langsung. PDIP bahkan menyebut Pilkada langsung memiliki banyak kerugian dan kekurangan yang akhirnya mereduksi demokrasi. Demikian pula PPP yang menilai bahwa Pilkada langsung lebih banyak mudaratnya, terutama maraknya politik uang. Alih-alih, wacana itu pun terus berkembang hingga adanya usulan agar UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada secara langsung perlu segera direvisi.

Di luar parlemen, usulan revisi UU Pilkada mendapat tanggapan miringdari berbagai pihak. Bahkan, lembaga swadaya masyarakat seperti KoDe Inisiatif (Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif) justru meminta Mendagri Tito Karnavian agar tidak mewacanakan isu Pilkada tidak langsung yang pada akhirnya hanya ingin mengembalikan sistem Pilkada langsung ke sistem Pilkada tak langsung seperti zaman dahulu.  

Sebagaimana kita tahu bahwa sistem Pilkada langsung mulai diterapkan pada tahun 2005 atau sejak berlakunya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU Pemda tersebut mengamanatkan sistem pemilihan Kepala Daerah dari yang sebelumnya dipilih secara ‘tidak langsung’ atau dipilih oleh DPRD diubah menjadi dipilih secara langsungoleh rakyat.

Jika kita merunut dari aspek historis, perubahan sistem Pilkada tidak langsung menjadi Pilkada langsung sebagaimana diakomodir dalam UU Pemda, sesungguhnya merupakan ‘jawaban’ dari pemerintah dan parlemen atas tuntutan masyarakat pada saat gerakan Reformasi’98 silam. Dan itulah sebabnya, mengapa perihal pemilihan langsung ini telah diatur dalam UUD 1945 hasil amandemen yang kemudian diatur lebih lanjut dalam UU Pemda dan diatur pula dalam sejumlah peraturan-peraturan yang bersifat organik lainnya.

Usulan untuk kembali ke sistem lama (tidak langsung) pernah pula diwacanakan sebelumnya. Artinya, wacana untuk kembali ke sistem lama sebagaimana yang kini tengah berlangsung, bukan baru kali ini dimunculkan. Sebab pada tahun 2014 silam, sebagian anggota DPR pernah menyepakati’ perubahan sistem itu. Hanya saja, kesepakatan untuk merubah sistem Pilkada langsung itu, tak sempat dieksekusi parlemen. Ini artinya, parlemen kita sesungguhnya telah punya niat untuk mengembalikan Pilkada langsung (sistem baru) ke Pilkada tidak langsung (sistem lama).

Alasan perubahan sistem

Kita lantas bertanya: apa alasan mendasar bagi pemerintah dan parlemen hendak merubah kembali sistem Pilkada langsung yang telah berjalan sejak tahun 2005 itu? Sejauh ini, kita hanya menyimak sejumlah alasan yang kerap dikemukakan oleh para petinggi negeri ini.

Beberapa alasan yang sering disebut misalnya: karena tingginya biaya politik Pilkada yang kemudian berdampak pada tingginya potensi tindak pidana korupsi yang dilakukan terutama oleh Kepala Daerahyang terpilih melalui sistem Pilkada langsung. Meningkatnya tren jumlah kasus korupsi yang dilakukan oleh Kepala Daerah itulah yang kemudian dianggap sebagai faktor pemicu. Akan tetapi, benarkah sistem Pilkada langsung itu merupakan faktor determinan yang menyebabkan para Kepala Daerah cenderung melakukan korupsi? Saya kira, hal ini masih debatable dan patut dikaji secara komprehensif. Dengan perkataan lain, banyaknya praktik korupsi yang dilakukan oleh Kepala Daerah, tidak serta merta dijadikan alasan pembenar untuk merombak sistem pemilihan langsung.

Hal yang juga mencengankan publik ialah mengenai alasan (argumentasi) yang disampaikan sejumlah anggota parlemen seperti ini: “Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD perlu dipertimbangkan (direvisi) karena pemilihan langsung oleh masyarakat memiliki banyak permasalahan. Jika hal tersebut terus dilakukan, dikhawatirkan akan merusak masa depan bangsa.Bahkan salah satu pimpinan DPR dengan tegas menyatakan “setelah kami evaluasi terhadap Pilkada langsung, ternyata banyak masalah yang timbul, termasuk menelan biaya tinggi. Karena itu sistem pemilihan langsung, sebaiknya dikembalikan ke sistem lama yakni dipilih melalui DPRD.”

Saya kira, pernyataan anggota DPR bahwa ‘pemilihan langsung dikhawatirkan akan merusak masa depan bangsa’ merupakan sebuah kekhawatiran yang berlebihan. Itu asumsi negatif dan kerangka berpikir (paradigma) keliru yang diperlihatkan DPR kepada publik.

Alasan lain bagi parlemen membuka peluang revisi UU Pilkada, berkaitan dengan perihal ‘anggota DPR tak perlu mundur jika maju sebagai calon Kepala Daerah. Sebelumnya, tidak ada keharusan bagi anggota DPR untuk mundur jika ia maju dalam Pilkada. Ia hanya perlu mengajukan izin cuti sementara, yang jika tidak terpilih pada Pilkada tersebut, maka ia masih boleh kembali menjalankan tugasnya sebagai anggota dewan.

Tetapi sejak Pilkada tahun 2015, anggota DPR atau DPRD yang maju mencalonkan diri menjadi Kepala Daerah, harus mundur dari jabatannya sebagai anggota DPR atau DPRD. Konsekuensinya, jika ia gagal terpilih sebagai Kepala Daerah, maka yang bersangkutan tidak boleh lagi menjadi anggota dewan, lantaran ia telah mengundurkan dirinya saat maju Pilkada.

Rupanya, anggota parlemen kita tidak puas dengan aturan semacam itu (keharusan untuk mundur jika maju di Pilkada). Mereka lalu berkehendak untuk kembali menerapkan aturan lama. Bersyukur bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) telah memperkuat harapan dan tuntutan publik yang memang lebih menginginkan agar DPR/DPRD yang maju dalam Pilkada harus mundur dari jabatannya sebagai anggota dewan. Tegasnya, MK telah membatalkan keinginan dan atau menolak permohonan uji materil yang diajukan oleh sejumlah anggota parlemen terkait peraturan itu.

Akan tetapi, kini sejumlah anggota parlemen sebagaimana disampaikan oleh Wakil Ketua DPR, Azis Syamsuddin masih tetap ngotot mewacanakan untuk kembali menerapkan sistem lama melalui revisi UU Pilkada yang mencakup pasal tentang syarat anggota legislatif ikut dalam Pilkada. Sepertinya, kuat sekali keinginan mereka untuk kembali ke aturan lama yang tentunya justru bertentangan dengan kecenderungan publik dan melanggar putusan MK serta melanggar UU Pilkada itu sendiri.

Mengingat bahwa keharusan bagi anggota DPR/DPRD untuk mundur dari jabatan jika maju Pilkada, merupakan hasil keputusan MK. Dan putusan MK itu telah pula dimasukkan dalam Pasal 7 Ayat (2) huruf s UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Mestinya, arah revisi UU Pilkada (jika memang diperlukan) harus fokus pada hal-hal substansial dengan memperhatikan tingkat urgensinya. Bukan pada soal-soal yang hanya mengutamakan kepentingan subjektif para elit politik.

Opsi Asimetris digelinding

Setidaknya telah terungkap bahwa pihak parlemen menyiapkan 2 (dua)alternatif pilihan kebijakan dalam rangka menindaklanjuti rencana evaluasi penyelenggaraan Pilkada langsung. Opsi pertama, pemilihan langsung nantinya hanya akan digelar pada tingkat Kabupaten/Kota saja. Sementara untuk Pilkada tingkat Provinsi digelar pemilihan secara tak langsung. Opsi kedua, ada alternatif kebijakan evaluasi Pilkada secara asimetris. Kebijakan asimetris itu akan menghasilkan mekanisme alternatif dimana daerah-daerahtertentu boleh digelar secara langsung dan daerah-daerah lainnya digelar secara tak langsung.

Tak jelas memang dari mana asal-muasal sistem ini diadopsi, dan apa yang dimaksud dengan asimetris itu. Apakah asimetris itu sebagai lawan dari kata simetris yang berarti sama juga dengan kata ‘setangkup[1]Entalah... Tetapi yang jelas, sistem asimetris menurut versi Komisi II DPR lebih ke konteks politis. Yang juga menimbulkan petanyaan adalah bagaimana kriteria bagi daerah yang dibolehkan menggelar pemilihan secara langsung dan daerah mana saja yang digelar pemilihan tak langsung, sebagaimana yang tersirat pada opsi kedua tadi.

Seturut penjelasan DPR, Pilkada dengan sistem asimetris itu nantinya memungkinkan perbedaan pelaksanaan mekanisme Pilkada, baik secara langsung maupun tak langsung pada tiap level pemerintah daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota). Perbedaan pelaksanaan itu nantinya bisa diidentifikasi sesuai dengan kondisi objektif di masing-masing wilayah. Wilayah yang dapat menggunakan sistem Pilkada langsung hanya digelar pada tingkat Kabupaten/Kota saja. Sementara untuk Pilkadatingkat Provinsi digelar pemilihan secara tak langsung.

Kalau kita merujuk penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya DPR hanya mempunyai satu opsi, yakni opsi pertama. Karena opsi kedua sesungguhnya sama dengan opsi pertama. Persisnya, Gubernur akan dipilih oleh DPRD Provinsi (tidak langsung), sedangkan Bupati dan Walikota dipilih oleh rakyat (langsung). Tidak ada opsi atau pilihan tersendiri bagi daerah Kabupaten/Kota untuk mengkategorikan wilayah tertentu boleh memakai mekanisme pemilihan langsung dan wilayah lainnya boleh memakai mekanisme pemilihan tak langsung. Dengan lain perkataan, sistem asimetris yang hendak diterapkan itu, hanya untuk 2 level pemerintah daerah, yakni antara Provinsi dan Kabupaten/Kota. Provinsi menerapkan mekanisme tak langsung, dan Kabupaten/Kota menerapkan mekanisme langsung. Gubernur akan dipilih oleh DPRD Provinsi dan Bupati/Walikota akan dipilih oleh rakyat secara langsung. 

Berkaitan dengan penerapan sistem asimetris yang rencananya akan dimasukan dalam revisi UU Pilkada sebagaimana disampaikan oleh DPR, patutlah kita bedah dasar pertimbangannya. Dan hemat saya, basis argumentasi DPR untuk menerapkan sistem pemilihan tak langsung bagi Provinsi dan pemilihan langsung bagi Kabupaten/Kota, dapat dipahami dan diterima dengan syarat.

Mengapa? Karena dari aspek Hukum Tata Negara, titik berat otonomi daerah memang sesungguhnya berada di tingkat Kabupaten/Kota dan atau bukan di tingkat Provinsi. Provinsi tidak berotonomi penuh sebagaimana halnya dengan Kabupaten/Kota. Apalagi ketika Pemda Provinsi telah dikategorikan secara baku sebagai ‘perpanjangan tangan’ dari pemerintah pusat. Sehingga dengan demikian, menjadi logis jika Pilkada langsung memang tak harus digelar di tingkat Provinsi.

Dalam terang Hukum Tata Negara, kepenuhan otonomi pemerintahan, hanya berada dan dimiliki oleh 3 (tiga) level pemerintahan, yakni pemerintah tingkat pusat (Presiden), pemerintah tingkat kabupaten/kota (Bupati/Walikota), dan pemerintah tingkat desa (Kepala Desa). Sedangkan pemerintah tingkat provinsi (Gubernur), pemerintah tingkat kecamatan (Camat), dan pemerintah tingkat kelurahan (Lurah) tidak dalam status otonomi penuh.

Hanya saja, selama ini telah terjadi salah kaprah, baik dalam cara berpikir (paradigma) maupun cara bertindak (perlakuan) terhadap eksistensi pemerintahan tingkat provinsi. Dimana, telah terjadi ‘pengecualian’ bagi provinsi terutama dalam hal pemilihan Gubernur yang dilakukan secara langsung oleh rakyat. Lantaran Gubernur dipilih secara langsung oleh rakyat, maka ia kemudian dianggap memiliki legitimasi kuat, sama seperti legitimasi yang dimiliki seorang Presiden, Bupati/Walikota dan Kepala Desa. Idealnya, Gubernur itu cukup diperlakukan dan disejajarkan sebagai ‘pejabat sela’ yang serupa dan sepadan dengan eksistensi Camat dan Lurah.  

Kembali ke tema pokok. Bahwa perbincangan mengenai usulan agar Gubernur dan Wakil Gubernur dipilih oleh DPRD, memang telah lama digelindingkan sejumlah pihak. Namun faktanya, semua Gubernur dan Wakil Gubernur di Indonesia tetap dipilih dengan mekanisme pemilihan langsung dan atau mengikuti apa yang telah diatur dalam UU Pilkada yang berlaku sebelumnya, sebagaimana telah mengalami beberapa kali perubahan hingga lahirlah UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.

Saya kira, jika kita berkomitmen untuk menekan biaya negara yang selama ini banyak tersedot untuk membiayai proyek-proyek politik Pilkada, baik untuk Pilkada tingkat Provinsi maupun tingkat Kabupaten/Kota, maka usulan untuk mengganti sistem pilkada langsung di tingkat Provinsi dengan sistem perwakilan sesuai proposal sistem asimetris sebagaimana dilontarkan oleh Komisi II DPR itu, patut dipertimbangkan juga oleh publik. Sebab akan ada penghematan uang negara triliunan rupiah, jika pemilihan 34 orang Gubernur dan Wakil Gubernur di Indonesia dilakukan (hanya) oleh DPRD Provinsi saja. Demikian pula, dari aspek keuangan akan makin efisien bila Pilkada tak langsung itu diterapkan pada level Provinsi.

Namun demikian, perubahan sistem Pilkada di tingkat Provinsi itu, berkonsekuensi pada perubahan regulasi lain yang terkait. Termasuk soal eksistensi dan peran lembaga penyelenggara dan pengawas Pemilu tingkat Provinsi, yakni KPU dan Panwas Provinsi.

Demikian pula, ada ‘kemudahan’ dalam proses pengangkatan pejabat Gubernur atau Wakil Gubernur bilamana keduanya harus diganti di tengah jalan oleh sebab yang bersifat khusus. Sebagaimana seperti yang terjadi di Provinsi DKI Jakarta, terutama dalam hal pergantian posisi Wakil Gubernur yang berjalan sangat alot dan memakan waktu lama.

Sekadar contoh, dahulu Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat diangkat sebagai Wakil GubernurDKI dengan menggunakan mekanisme pengangkatanyang mengacu pada UU Nomor 1 Tahun 2015 dan PP Nomor 102 Tahun 2014. Aturan dalam UU dan PP tersebut, memberi wewenang penuh kepada Gubernur untuk mengangkat Wakil Gubernur (Wagub). Tetapi hal yang berbeda, terjadi ketika pergantian Wagub DKI Jakarta, Sandiaga Uno yang ternyata sangat molor, bahkan hingga mencapai dua tahun belum kelar juga.  

Dari hal-hal seperti yang diutarakan di atas, saya kemudian berpendapat bahwa proses pelaksanaan Pilkada di Indonesia, sebenarnya bisa saja diterapkan melalui sistem pemilihan secara langsung oleh rakyat dan melalui sistem perwakilan melalui DPRD. Sebab kedua mekanisme itu sama-sama bertujuan untuk melahirkan atau memilih pemimpin di daerah. Dengan catatan bahwa keputusan untuk merubah sistem Pilkada di tingkat provinsi itu, bukan tanpa resiko.

Revisi UU dan Potensi Terganggunya Pilkada 2020

Jika pemerintah dan parlemen menargetkan revisi UU Pilkada harus dilakukan secepatnya agar bisa dilaksanakan untuk Pilkada serentak tahun 2020, maka hal itu sudah pasti akan berpotensi melahirkan masalah baru. Sebab, proses dan tahapan Pilkada 2020 kini tengah berjalan. Potensi terganggunya tahapan dan proses Pilkada sangat besar, terutama ketika pembahasan revisi UU tersebut berlangsung alot dan menyita waktu lama. Jika ini terjadi, akan menimbulkan masalah baru, dan akan berdampak tertundanya agenda pelaksanaan Pilkada 2020.

Kita tahu bahwa kebiasaan buruk yang kerap diperlihatkan para politisi di senayan adalah praktik tarik ulur kepentingan politik antarparpol melalui fraksi-fraksi yang ada di DPR. Dan hal itu pasti akan berimplikasi terhambatnya pelaksanaan Pilkada serentak yang telah dijadwalkan berlangsung pada 23 September 2020.

Meskipun revisi UU Pilkada tetap dilaksanakan dengan kemungkinan menggunakan skema perimbangan atau sistem asimetris itu (beralih dari langsug ke perwakilan untuk tingkat Provinsi), maka menurut saya, hasil revisi UU Pilkada tersebut, tetap TIDAK bisa diterapkan begitu saja pada Pilkada serentak tahun 2020 ini. Karena sekali lagi, proses dan tahapan Pilkada serentak 2020 kini tengah berjalan. Jika proses dan tahapan Pilkada terganggu, akan berakibat buruk serta berkonsekuensi lahirkan sejumlah masalah baru.

Hemat saya, apa pun hasil revisi UU Pilkada itu, pemberlakuannya hanya untuk kepentingan Pilkada berikutnya. Terutama untuk diterapkan pada Pilkada serentak tahun 2024 yang akan datang. Mengingat bahwa pada tahun 2024 itu, Indonesia akan secara serentak melaksanakan beberapa event kepemiluan, yakni: Pilkada, Pileg dan Pilpres. Pada tahun 2024, ada 3 (tiga)Pemilu yang akan dilaksanakan dalam waktu satu tahun walau ketiganya tidak dilaksanakan secara bersamaan.

Sikap Presiden Soal Pilkada

Lain padang lain ilalang, lain DPR lain pula Presiden. Kalau DPR suka ‘jalan mundur’ maka Presiden suka ‘jalan di tempat’. DPR cenderung ingin kembali ke sistem pemilihan melalui perwakilan/DPRD, sedangkan Presiden cenderung ingin tetap mempertahankan sistem pemilihan langsung oleh rakyat seperti yang selama ini berjalan.  

Presiden telah menegaskan sikapnya soal Pilkada, dimana ia lebih menghendaki agar Pilkada tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota, tetap melalui mekanisme pemilihan langsung. Ia beralasan bahwa Pilkada itu merupakan cerminan dari kedaulatan rakyat. Mekanisme pemilihan langsung juga sejalan dengan cita-cita Reformasi 1998. Kalaupun perlu direvisi, maka revisinya hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat teknis penyelenggaraan saja.[2]

Apa yang disampaikannya itu, tentu masih merupakan pendapat pribadi seorang Joko Widodo selaku Presiden, bukan pendapat yang mewakili pemerintah atau negara. Sebab, faktanya wacana revisi UU Pilkada justru datang dari salah satu menteri dalam kabinetnya sendiri, yaitu Mendagri, Tito Karnavian. Jadi, dapat dikatakan bahwa unsur pemerintah dan unsur parlemen, sesungguhnya mengarah ke aras perjuangan yang sama, yaitu kehendak untuk merevisi UU Pilkada.

Fakta, juga memperlihatkan bahwa pemerintah memang menginginkan proses harmonisasi terhadap beberapa UU seperti: UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Parpol. Proses revisi UU Pilkada dan UU Pemilu yang dipaketkan dengan revisi UU Parpol, dianggap urgen serta dijadikan prioritas masuk Prolegnas 2019-2024.

Dapat dikatakan bahwa jika kita mau merevisi UU Pemilu, maka ada keharusan untuk merevisi UU Partai Politik, dan jika merevisi UU Pilkada, maka harus pula merevisi UU Pemerintahan Daerah bahkan perlu pula merevisi UU Pemerintahan Desa. Karena revisi terhadap beberapa paket UU tersebut akan dapat mendudukkan kembali demokrasi substansial bagi Indonesia.

Dan satu hal yang penting ialah bahwa revisi UU Pilkada, UU Pemilu, UU Parpol dan UU terkait lainnya, harus berorientasi pada upaya menjamin sistem demokrasi yang ideal bagi kepentingan bangsa Indonesia.


Isu krusial di balik revisi 3 paket UU

Rencana revisi paket UU tersebut, secara resmi telah disampaikan Komisi II DPR seusai Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan KPU, Bawaslu dan DKPP di Jakarta pada 20 November 2019. Yang mengemuka saat RDP berlangsung adalah alasan bahwa 3 paket revisi UU tersebut bertujuan untuk sinkronisasi dan harmonisasi antara satu dengan lainnya. Ada beberapa isu revisi yang mencuat saat itu, seperti: pengaturan tentang waktu kampanye yang perlu diperpendek, penerapan e-rekap, penetapan DPT yang berbasis pada data DP4 Kemendagri, dan soal narapidana koruptor yang ikut Pilkada.

Hal lain yang juga mestinya perlu direvisi oleh KPU sebagai penyelenggara Pilkada yakni keharusan untuk merevisi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 2 Tahun 2017. Ada 11 isu strategis untuk direvisi antara lain tentang hak memilih dari mereka yang menyandang disabilitas, DP4, sinkronisasi DP4 dan DPT, serta tugas PPDP/Pantarli dalam kegiatan mencocokkan dan meneliti (coklit)data pemilih. Namun isu paling krusial dan mendapat sorotan publik dari revisi UU Pilkada, yakni soal adanya kehendak DPR untuk memasukan ketentuan menyangkut pencalonan Kepala Daerah yang berstatus sebagai mantan narapidana korupsi.

Tentang ini, KPU telah menyusun draf aturan terkait larangan narapidana kasus korupsi yang maju dalam Pilkada 2020. KPU tetap membuat larangan itu meskipun aturan serupa pada Pemilu 2019 dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA). Keberanian KPU untuk tetap memasukan kembali ketentuan tentang eks narapidana korupsi dalam draf PKPU baru, didasarkan pada realita yang kemudian disebut oleh KPU sebagai ‘novumbaru. KPU menyakini bahwa novum itu akan bisa mematahkan argumentasi yang dipakai para penggugat sebelumnya.

Novum yang dimaksudkan KPU itu, tak lain ialah bahwa ada fakta dimanaterdapat calon Kepala Daerah yang sudah ditetapkan sebagai tersangka korupsi dan kemudian ditahan, tetapi masih terpilih pada Pilkada. Fakta itu terjadi pada pemilihan Bupati Tulungagung, Jawa Timur, dan pemilihan Gubernur Maluku Utara.

Poin dari kedua kasus tersebut adalah bahwa pelaku korupsi yang meskipun telah menang di Pilkada, toh pada akhirnya yang bersangkutan tetap dipidana penjara dan yang menjadi Bupati dan Gubernur di kedua daerah itu, justru orang lain. Hasil pilihan rakyat pun menjadi sia-sia. Jika demikian, maka menjadi logislah alasan pihak KPU untuk tetap melarang para mantan narapidan korupsi ikut Pilkada. Untuk apa seseorang yang terlibat kasus korupsi masih diberi kesempatan menjadi pemimpin?

Demikian pula, ketika ada ‘asumsi’ yang menganggap bahwa seseorang yang sudah pernah ditahan atau telah selesai menjalani hukumannya, maka yang bersangkutan kemungkinan akan bertobat atau tidak mengulangi praktik korupsi. Dan karena itu yang bersangkutan boleh ‘diizinkan’ kembali untuk ikut berkompetisi merebut jabatan politik (Gubernur, Bupati/Walikota). Asumsi semacam ini tak layak dijadikan alasan pembenar untuk memberi ‘kesempatan bertobat’ bagi para koruptor. 

Lagi pula, fakta di beberapa daerah bisa dijadikan rujukan. Salah satunya terkait dengan kasus yang pernah terjadi di Kabupaten Kudus. Muhammad Tamzil. Kita tahu bahwa Bupati di Kabupaten Kudus itu, pernah ditahan terkait kasus korupsi, lalu kemudian ia bebas. Setelah bebas, ia maju Pilkada dan berhasil terpilih sebagai Bupati lagi. Tetapi kemudian ia mengulangi tindak pidana korupsi untuk kedua kalinya dan ia pun masuk penjara lagi. Ia tak pernah bertobat dari praktik korupsi. Ia juga tak pernah puas mengejar kekuasaan. Bukankah ini tamak?

Dua contoh kasus inilah yang rupanya mendasari sikap KPU untuk tetap melarang eks napi koruptor ikut dalam Pilkada serentak tahun 2020. Dengan dan melalui pengaturan di PKPU baru itu, KPU sebenarnya hendak mengingatkan kita semua bahwa mentalitas dan kencenderungan negatif manusia (koruptor) tak mesti diberi kesempatan dan ruang yang luas di negeri ini.

Upaya KPU mencegah para koruptor ikut Pilkada 2020 tak sendirian. Karena pihak Bawaslu, juga melakukan hal serupa. Walau antara KPU dan Bawaslu berbeda dalam cara dan pandangan, namun masih berada pada satu semangat yang sama, yakni mencegah para koruptor ikut Pilkada.

 

Bawaslu lebih cenderung menggunakan instrument UU untuk melarang koruptor ikut Pilkada dengan cara: memasukan larangan itu dalam pasal-pasal revisi UU Pilkada. Menurut Bawaslu, larangan eks napi korupsi tak perlu diatur dalam draf revisi Peraturan KPU, tetapi langsung diatur dalam UU Pilkada edisi revisi. Sedangkan KPU, walaupun sebelumnya ‘lupa’ mencantumkan larangan pencalonan terpidana kasus korupsi dalam PKPU (lama), namun ia telah mempersiapkan draf PKPU (baru) sebagai edisi revisi PKPU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Kepala Daerah.

 

Jika KPU dan Bawaslu telah berkomitmen untuk sama-sama mencegah koruptor jadi pemimpin, lalu mengapa kita sebagai masyarakat tidak memberi dukungan kepada mereka? Bukankah tugas kita semua ialah bagaimana turut serta dalam upaya menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa? Bukankah tugas kita adalah senantiasa berupaya mencegah korupsi tumbuh subur di negeri ini?

 

Memang harus diakui bahwa sering pula KPU dan Bawaslu membuat peraturan teknis yang justru cenderung berlebihan dan melampaui semangat UU. Tetapi tugas pemerintah dan parlemen sebagai pembentuk UU adalah mencegah terjadinya kekisruhan itu timbul dalam pelaksanaan Pilkada. Demikian pula, tugas kita sebagai masyarakat ialah bagaimana mengawasi KPU dan Bawaslu itu agar keduanya tak perlu menghabiskan energi untuk hal yang potensial menimbulkan kontraversial dan kontraproduktif. Sebab konflik Pilkada itu,bisa juga dipicu dari ketidakjelasaan aturanteknis yang dibuat pihak KPU dan Bawaslu.

Demikian pula, kita perlu terus memberi peringatan kepada KPU dan Bawaslu agar kedua lembaga itu tidak saling bertikai. Sebab adalah fakta bahwa sering pula terjadi percekcokan pendapat yang tajam antara kedua lembaga itu. Dan percekcokan kedua lembaga itu, tentu saja berdampak buruk bagi banyak pihak.

Hal semacam ini pernah terjadi, terutama ketika KPU membuat syarat tambahan mengenai persyaratan calon Kepala Daerah di luar dari yang diatur dalam Pasal 7 UU Nomor 10 Tahun 2016. Pengaturan tambahan tersebut kemudian menjadi perdebatan panjang. Saat KPU tidak meloloskan calon yang bersangkutan karena dianggap tidak memenuhi syarat tambahan, maka calon bersangkutan lalu mengajukan gugatan/sengketa pencalonan kepada Bawaslu. Dalam kasus ini, timbul pertanyaan: peraturan apa yang mesti dirujuk oleh Bawaslu? Apakah UU 10 Pasal 7 atau Peraturan KPU? Jika Bawaslu menggunakan UU, maka calon yang dinyatakan tidak memenuhi syarat menurut Peraturan KPU akan tetap diloloskan oleh Bawaslu. Dan hal ini tentu bertentangan dengan keputusan KPU.  

Awasi SKCK Formalitas

Sejatinya, masyarakat perlu medukung niat baik dan terobosan positif KPU yang melarang eks narapidana korupsi maju dalam Pilkada 2020. Demikian pula, bagi terpidana kasus perbuatan tercela seperti;judi, zina, narkoba, mabuk, dan kasus kesusilaan lainnya. Prinsipnya, masyarakat perlu terus mendorong semua pihak terutama KPU, Bawaslu, DPR dan pemerintah agar sedapat mungkin mencegah para pelaku korupsi menjadi pemimpin daerah (Gubernur, Bupati/Walikota). 

Pertanyaannya ialah dengan cara dan melalui instrument apa, kita mencegah koruptor dan para pelaku perbuatan tercela lainnya ikut Pilkada? Apakah hanya dengan dan melalui Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) yang dikeluarkan oleh pihak Kepolisian?

Harus diakui bahwa hal yang menjadi ‘kelemahan’ dalam upaya memastikan calon pemimpin memiliki integritas diri yang baik dan atau tidak tercela adalah ketika alat pembuktiannya hanya berupa SKCK. Dalam Pasal 42 ayat (1) huruf h, calon Kepala Daerah harus membuktikan diri mereka tak melakukan hal-hal tercela dengan SKCK dari Polisi. 

Sementara di dalam praktiknya selama ini, SKCK yang dikeluarkan oleh Kepolisian itu seringkali hanya bersifat formalitas belaka. Proses untuk mendaptkan SKCK itu sangat singkat dan mudah. Waktu 10 menit, telah cukup bagi seseorang memperoleh SKCK. Para petugas Polisi biasanya tak pernah bertanya atau mengecek riwayat ketersangkutan seseorang dengan persoalan hukum. Cukup diambil sidik jari, pas foto dan persyaratan administrasi yang diperlukan. SKCK pun langsung diterbitkan. Kelar!

Jika proses mendapatkan SKCK sebegitu mudah seperti dgambarkan di atas, bagaimana mungkin para eks narapidana perbuatan tercela dan juga eks naraidana korupsi dapat dicegah sebagaiamana yang diharapkan KPU dan juga publik? Jika SKCK hanya sebuah persyaratan formal-administrasi, bagaimana mungkin para pelaku tindak pidana dapat dihentikan?  

Hemat saya, ketika SKCK telah dijadikan ‘satu-satunya’ alat pembuktian, maka yang harus diawasi secara ketat oleh semua pihak adalah bagaimana caranya agar SKCK itu bernilai strategis serta harus berdampak hukum. Untuk kepentingan Pilkada, saya kira SKCK harus diperlakukan secara berbeda dari biasanya. Bahwa pihak kepolisian yang mengeluarkan SKCK harus benar-benar memverifikasi riwayat para calon. Verifikasi dan validasi data para calon Kepala Daerah harus dilakukan secara sungguh-sungguh. Proses dan hasilnya harus pula dapat diakses publik. Lembaga KPU harus pula bisa memastikan bahwa SKCK itu benar-benar dapat menjelaskan riwayat hukum orang-orang yang mencalonkan diri di Pilkada 2020. Mengingat SKCK itu menjadi bukti kunci dalam PKPU.  

Saya kira, sudah tepat ketika KPU mencantumkan pasal perbuatan tercela dalam draf PKPU sebagai salah satu syarat pencalonan Pilkada 2020. Karena dalam UU Pilkada, hal tersebut juga sudah dicantumkan secara jelas.

Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada diterangkan bahwa perbuatan tercela yang dilarang adalah judi, mabuk, pemakai/pengedar narkotika, dan berzina, serta perbuatan melanggar kesusilaan lainnya. Demikian pula dalam Pasal 4 poin j angka 1-5 yang juga mempertegas Pasal 7 ayat (2) di atas. Artinya, aturan ini bukan hal baru karena sudah ada dalam UU Pilkada.

Pertanyaan kita perlu diajukan: apakah pihak Kepolisian berani dan tegas dalam memberikan keterangan yang benar (SKCK) bagi para calon pemimpin di daerah? Mari kita awasi proses penerbitan SKCK ini secara bersama-sama. Jangan sampai SKCK hanya sekadar formalitas belaka.

Akhirnya, di penghujung paparan singkat ini, saya perlu mengucapkan terima kasih yang tulus kepada rekan-rekan penyelenggara Seminar yang hari ini telah berkenan memberi kepercayaan dan kesempatan kepada saya untuk berdiskusi bersama dalam forum ini. Mohon maaf, apabila pointers diskusi yang saya sampaikan di atas, belum memenuhi target ideal dari para penyelenggara. Mari berdiskusi.

Penulis, seorang Petani, Aktivis, Wartawan, Advokat dan Dosen. Berdomisili secara tidak tetap di Jakarta dan Labuan Bajo.


[1] Arti harfiah dari kata Setangkup=tutup/tertutup; sama besar ukuran kedua belah bagiannya; berkaitan dengan hal keseimbangan.
[2] Pernyataan Presiden disampaikan melalui Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi, Fadjroel Rahman (CNN Indonesia, 12/11/2019)
.