Polemik Revisi UU Pilkada: langsung atau tidak langsung?

Advertisement

Masukkan script iklan 970x90px

Polemik Revisi UU Pilkada: langsung atau tidak langsung?

Admin
Sunday, December 8, 2019




Polemik Revisi UU Pilkada: langsung atau tidak langsung?


KOMODOPOS.COM:RUTENG: Terkait wacana revisi UU Pilkada, hal penting yang perlu diperhatikan oleh semua pihak ialah bahwa revisi UU Pilkada, UU Pemilu, UU Parpol dan UU terkait lainnya, harus berorientasi pada upaya menjamin sistem demokrasi yang ideal bagi kepentingan bangsa Indonesia. Arah revisi UU Pilkada (jika memang diperlukan) harus fokus pada hal-hal substansial dengan memperhatikan tingkat urgensinya. Bukan pada soal-soal yang hanya mengutamakan kepentingan subjektif para elit politik.

Demikian antara lain disampaikan Dr. Bernadus Barat Daya, SH., MH dalam forum Seminar Sehari yang diselenggarakan oleh Forum Pemuda Peduli Demokrasi (FP2D) bertempat di Aula Misio Universitas Katolik Indonesia St. Paulus Ruteng-Flores pada Sabtu, (7/12/2019).

Selain Barat Daya, narasumber lan yang juga tampil pada forum itu, Dr. Mantovany Tapung dan Benediktus Tiwo, S, Pd. Seminar tersebut dhadiri oleh sekitar 500-an mahasiswa UNIKA Ruteng serta masyarakat umum lainnya.

Barat Daya menegaskan, jika DPR berniat merubah atau mengembalikan sistem Pilkada langsung oleh rakyat ke sistem pemilihan tidak langsung (dipiliah DPRD) dilakukan untuk mencegah korupsi di daerah, maka alasan itu terlampau sumir dan kurang tepat. Sebab merajalelanya praktik korupsi dai daerah disebabkan oleh banyak faktor. Benarkah sistem Pilkada langsung itu merupakan faktor determinan yang menyebabkan para Kepala Daerah cenderung melakukan korupsi? Saya kira, hal ini masih debatabledan patut dikaji secara komprehensif. Banyaknya praktik korupsi yang dilakukan Kepala Daerah, tidak serta merta dijadikan alasan pembenar untuk merombak sistem pemilihan langsung.


Barat Daya juga mengecam keras pernyataan dari salah satu Pimpinan DPR RI beberapa waktu lalu yang menyatakan bahwa “jika sistem pemilihan langsung terus dibiarkan berjalan, maka dikhawatirkan akan merusak masa depan bangsa.

Pernyataan pimpinan DPR seperti itu dinilai Barat Daya sebagai kekhawatirkan berlebihan, ngawur dan tendensius. “Itu asumsi negatif dan kerangka berpikir keliru yang diperlihatkan DPR kepada publik” tegasnya. Menurut mantan Ketua KPU Mabar periode 2003-2008 ini, arah revisi UU Pilkada (jika memang diperlukan) harus fokus pada hal-hal substansial dengan memperhatikan tingkat urgensinya. Bukan pada soal-soal yang hanya mengutamakan kepentingan subjektif para elit politik.

Berkaitan dengan penerapan sistem asimetris yang rencananya akan dimasukan dalam revisi UU Pilkada, Barat Daya berpendapat bahwa basis argumentasi DPR untuk menerapkan sistem pemilihan tak langsung bagi Provinsi dan pemilihan langsung bagi Kabupaten/Kota, dapat dipahami dan masih diterima dengan syarat.

Karena menurut Barat Daya, dari aspek Hukum Tata Negara, titik berat otonomi daerah memang sesungguhnya berada di tingkat Kabupaten/Kota dan atau bukan di tingkat Provinsi. Provinsi tidak berotonomi penuh sebagaimana halnya dengan Kabupaten/Kota. Apalagi ketika Pemda Provinsi telah dikategorikan secara baku sebagai ‘perpanjangan tangan’ dari pemerintah pusat. Sehingga dengan demikian, menjadi logis jika Pilkada langsung memang tak harus digelar di tingkat Provinsi.

Lebih lanjut Barat Daya mengungkapkan bahwa dalam terang Hukum Tata Negara, kepenuhan otonomi pemerintahan, hanya berada dan dimiliki oleh 3 level pemerintahan, yakni pemerintah tingkat pusat (Presiden), pemerintah tingkat kabupaten/kota (Bupati/Walikota), dan pemerintah tingkat desa (Kepala Desa). Sedangkan pemerintah tingkat provinsi (Gubernur), pemerintah tingkat kecamatan (Camat), dan pemerintah tingkat kelurahan (Lurah) tidak dalam status otonomi penuh. Hanya saja, selama ini telah terjadi salah kaprah, baik dalam cara berpikir (paradigma) maupun cara bertindak (perlakuan) terhadap eksistensi pemerintahan tingkat provinsi. Dimana, telah terjadi ‘pengecualian’ bagi provinsi terutama dalam hal pemilihan Gubernur yang dilakukan secara langsung oleh rakyat. Lantaran Gubernur dipilih secara langsung oleh rakyat, maka ia kemudian dianggap memiliki legitimasi kuat, sama seperti legitimasi yang dimiliki seorang Presiden, Bupati/Walikota dan Kepala Desa. Idealnya, Gubernur itu cukup diperlakukan dan disejajarkan sebagai ‘pejabat sela’ yang serupa dan sepadan dengan eksistensi Camat dan Lurah. 

Namun demikian, perubahan sistem Pilkada di tingkat Provinsi itu, berkonsekuensi pada perubahan regulasi lain yang terkait. Termasuk soal eksistensi dan peran lembaga penyelenggara dan pengawas Pemilu tingkat Provinsi, yakni KPU dan Panwas Provinsi, terang Barat Daya.  

“Saya berpendapat bahwa proses pelaksanaan Pilkada di Indonesia, sebenarnya bisa saja diterapkan melalui sistem pemilihan secara langsung oleh rakyat dan melalui sistem perwakilan melalui DPRD. Sebab kedua mekanisme itu sama-sama bertujuan untuk melahirkan atau memilih pemimpin di daerah. Dengan catatan bahwa keputusan untuk merubah sistem Pilkada di tingkat provinsi itu, bukan tanpa resiko”, ujarnya lagi.


Sementara itu, berkaitan dengan adanya usulan agar anggota DPR/DPRD yang maju di Pilkada harus mundur dari jabatannya, didukung Barat Daya.  Sebab menurutnya, hal itu telah sesuai dengan  putusan majelis hakim MK. Dan putusan MK itu telah pula dimasukkan dalam Pasal 7 Ayat (2) huruf s UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

Soal revisi UU dan peluang terganggunya pelaksanaan Pilkada 2020, Barat Daya juga berpendapat bahwa meskipun revisi UU Pilkada tetap dilaksanakan dengan kemungkinan menggunakan skema perimbangan atau sistem asimetris itu (beralih dari langsug ke perwakilan untuk tingkat Provinsi), maka hasil revisi UU Pilkada tersebut, tetap tidak bisa diterapkan begitu saja pada Pilkada serentak tahun 2020 ini. Karena sekali lagi, proses dan tahapan Pilkada tengah berjalan. Jika proses dan tahapan Pilkada terganggu, akan berakibat buruk serta berkonsekuensi lahirkan sejumlah masalah baru.

Awasi SKCK Formalitas

Terkait Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), Barat Daya juga memberi catatan penting. Ia mengatakan, sejatinya, masyarakat perlu medukung niat baik dan terobosan positif KPU yang melarang eks narapidana korupsi maju dalam Pilkada 2020. Demikian pula, bagi terpidana kasus perbuatan tercela seperti; judi, zina, narkoba, mabuk, dan kasus kesusilaan lainnya. Prinsipnya, masyarakat perlu terus mendorong semua pihak terutama KPU, Bawaslu, DPR dan pemerintah agar sedapat mungkin mencegah para pelaku korupsi menjadi pemimpin daerah (Gubernur, Bupati/Walikota). 

“Pertanyaan kita ialah dengan cara dan melalui instrument apa, kita mencegah koruptor dan para pelaku perbuatan tercela lainnya ikut Pilkada? Apakah hanya dengan dan melalui Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) yang dikeluarkan oleh pihak Kepolisian?

Menurut Barat Daya, hal yang menjadi ‘kelemahan’ dalam upaya memastikan calon pemimpin memiliki integritas diri yang baik dan atau tidak tercela adalah ketika alat pembuktiannya hanya berupa SKCK. Dalam Pasal 42 ayat (1) huruf h, calon Kepala Daerah harus membuktikan diri mereka tak melakukan hal-hal tercela dengan SKCK dari Polisi. 

Sementara dalam praktiknya selama ini, SKCK yang dikeluarkan kepolisian itu seringkali hanya bersifat formalitas belaka. Proses untuk mendaptkan SKCK itu sangat singkat dan mudah. Waktu 10 menit, telah cukup bagi seseorang memperoleh SKCK. Para petugas Polisi biasanya tak pernah bertanya atau mengecek riwayat ketersangkutan seseorang dengan persoalan hukum. Cukup diambil sidik jari, pas foto dan persyaratan administrasi yang diperlukan. SKCK pun langsung diterbitkan. Kelar!

Jika proses mendapatkan SKCK sebegitu mudah seperti dgambarkan di atas, bagaimana mungkin para eks narapidana perbuatan tercela dan juga eks naraidana korupsi dapat dicegah sebagaiamana yang diharapkan KPU dan juga publik? Jika SKCK hanya sebuah persyaratan formal-administrasi, bagaimana mungkin para pelaku tindak pidana dapat dihentikan? 

“Ketika SKCK dijadikan ‘satu-satunya’ alat pembuktian, maka yang harus diawasi secara ketat oleh semua pihak adalah bagaimana caranya agar SKCK itu bernilai strategis serta harus berdampak hukum. Untuk kepentingan Pilkada, saya kira SKCK harus diperlakukan secara berbeda dari biasanya. Bahwa pihak kepolisian yang mengeluarkan SKCK harus benar-benar memverifikasi riwayat para calon. Verifikasi dan validasi data para calon Kepala Daerah harus dilakukan secara sungguh-sungguh. Proses dan hasilnya harus pula dapat diakses publik. Lembaga KPU harus pula bisa memastikan bahwa SKCK itu benar-benar dapat menjelaskan riwayat hukum orang-orang yang mencalonkan diri di Pilkada 2020. Mengingat SKCK itu menjadi bukti kunci dalam PKPU. Intinya, jJangan sampai SKCK hanya sekadar formalitas belaka”, ujar Barat Daya. * (bet/mus0

Editor: Detianus de Gea