Kandidat Bupati dan Filosofi Padi

Advertisement

Masukkan script iklan 970x90px

Kandidat Bupati dan Filosofi Padi

Admin
Friday, November 29, 2019

(Foto/komodopos.com).


Kandidat Bupati dan Filosofi Padi

Oleh: Sil Joni

Saya sangat yakin bahwa para bakal calon yang sedang sibuk 'mengemis dukungan parpol' mengklaim diri sebagai 'sosok pemimpin' yang tepat untuk Mabar ini. Karena itu, mereka berusaha meyakinkan parpol dan publik dengan 'memamerkan' rupa-rupa talenta.

Pelbagai jargon dan retorika politik 'dikumandangkan' dengan penuh percaya diri. Publik dibuat 'terkesima' dan mungkin menilai 'mereka adalah figur berisi'. Kita kerap 'terkecoh' oleh kemasan 'tampilan luar' yang didesain sefenomenal dan sesensasional mungkin. Tujuannya hanya satu agar persepsi dan impresi publik tentang diri mereka 'semakin positif'.

Para broker (calo) politik mereka pun tidak kalah 'beracting' seolah-olah figur jagoan itu sangat kapabel untuk menjadi bupati Mabar. Mereka sangat kreatif mengelaborasi sisi plus dari sang 'idola' dan menguburkan semua 'jejak negatif' selama berkiprah di dunia politik dari sang calon. Pokoknya, di mata para 'penjual politik itu', produk politik merekalah yang pantas dijagokan.

Suara mereka begitu 'meggelegar' di ruang publik. Mereka menyusuri lorong kampung sambil 'bertepuk dada' bahwa kandidat mereka 'mendapat dukungan signifikan baik dari partai maupun dari publik Mabar". Seabreak 'prestasi politis' dari sang kandidat dibentangkan dengan penuh percaya diri. Di ujung pembicaraan terselip pesan politik bahwa tidak ada lagi figur lain yang bisa mengubah wajah Mabar selain sosok yang sedang mereka sodorkan itu.

Tegasnya. bakat sebagai pembual teraktualisasi secara sempurna ketika musim kontestasi politik bergulir. Kita sulit menemukan figur politik yang tampil low profile, realistis, dan rendah hati. Semuanya 'berlagak' sebagai manusia super yang layak diberi mandat sebagai 'mesias politik' untuk Kabupaten ini.

Tidak sedikit publik-konstituen yang 'tergetar' dengan propoganda politis yang bombastis itu. Semakin 'kencang' sang aktor berorasi, kans untuk menuai pujian semakin besar. Publik berdecak kagum dan dengan spontan berguman: "orang ini sangat cocok menjadi pemimpin". Suaranya lantang dan gestur tubuhnya cukup atraktif ketika beraksi di mimbar politik.

Padahal, mungkin saja kebanyakan 'wacana dan kemasan politik' itu bersifat superfisial (dangkal). Khazanah pengetahuan politik dan kompetensi leadership, teknis dan etis mereka, dalam tataran aplikatif, masih jauh dari ekpektasi publik. Para politisi yang pandai 'menonjolkan kulit' ketimbang isi, sebetulnya manusia yang bertipe "áir beriak tanda tak dalam, tong kosong nyaring bunyinya".
Sementara politisi 'bergizi dan berisi' dalam arti yang sebenarnya, pasti lebih terpukau pada soal substansi ketimbang isi. Biasanya, politisi semacam itu begitu konsisten menghayati filosofi padi: "semakin berisi semakin merunduk" Bagi calon pemimpin seperti itu, lusinan kata-kata yang tersembur dari mulut, sama sekali tidak mencerminkan kualitas kepemimpinannya. Boleh jadi, seorang politisi hanya berani memproduksi bunyi, tetapi nihil isi dan nir-makna.

Gong kontestasi Pilkada Mabar, secara resmi belum ditabuh. Tetapi, pasar politik lokal sudah sangat semarak dan dinamis. Hampir setiap hari, para makelar politik dan para calon bupati mulai memasarkan produk politik itu ke ruang publik.

Saya berpikir, sikap kritis publik dalam memilah dan menyeleksi figur-figur itu, menjadi sebuah keharusan. Publik mesti taktis membaca mana politisi yang tong kosong nyaring bunyinya dan mana yang menghayati filosofi padi secara konsisten dan bermartabat.*

*Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik local Manggarai Barat. Tinggal di Labuan Bajo.