Wisata Super Premium: Lompatan yang 'Menyeramkan'
Oleh: Sil Joni
Rencana Pemerintaah Pusat (Pempus) untuk menyulap kawasan Labuan Bajo dan sekitarnya menjadi obyek wisata super premium yang menyasar segmen wisatawan kelas atas sebagai 'target pangsa pasarnya', menuai polemik yang seru di tengah masyarakat. Bayangkan saja dalam konsep itu harga tiket untuk masuk ke Taman Nasional Komodo (TNK) begitu fantastis 1000 dollar atau setara 14 juta rupiah per individu.
Tentu saja 'harga selangit' itu mesti diimbangi dan ditopang dengan 'mutu pelayanan' dan pembenahan infrastruktur yang bersifat mewah dan ekslusif. Karena itu, Pempus akan menggelontorkan dana yang besar untuk menggejot dan mendongkrak level kualitas sumberdaya kepariwisataan di daerah ini. Justru pada titik inilah, persoalan sosial mulai muncul. Masyarakat lokal umumnya belum cukup kompetitif untuk menjadi 'pemain utama' dalam pasar wisata eksklusif itu.
Tidak mengurangi derajat apresiasi dan respek kita terhadap rencana atau konsep Jokowi dalam mengaselerasi kemajuan pembangunan pariwisa di Mabar, saya kira ide menjadikan Labuan Bajo sebagai detinasi wisata premium, perlu ditinjau secara kritis. Tentu, porsi perhatian politik Pemerintah Pusat (Pempus) untuk perkembangan sektor turisme di sini, begitu besar dan mengagumkan.
Kendati secara konseptual dan operasional, frase wisata premium ini, belum ada 'batasan' yang jelas, tetapi wacana itu bergulir kencang dalam ruang publik hari hari ini. Seperti biasa, sebuah diskursus yang bersentuhan lansung dengan denyut kehidupan publik, sudah pasti mendapat respons yang beragam dari warga.
Konsep wisata premium ini, menimbulkan kontroversi, reaksi pro kontra di tengah masyarakat. Sebagian warga terutama para pelaku wisata begitu antusias dengan 'rencana' Pempus untuk menyulap Labuan Bajo sebagai kawasan wisata super premium atau eksklusif. Sekian argumentasi coba dibentangkan untuk mendukung rencana itu. Semuanya mengamini bahwa dalam dan melalui wisata premium publik mendapat 'keuntungan yang besar'.
Namun, tidak sedikit warga net yang sangat pesmis bahkan skeptis dengan gagasan wisata super premium itu. Skeptisisme itu bukan menyangkut 'kesiapan' Pempus dalam menggelontorkan dana segar untuk pembangunan pelbagai infrastruktur pariwisata, tetapi berkaitan dengan partisipasi publik dan dampak dari konsep itu untuk peningkatan kesejahteraan warga lokal di sini.
Wisata premium, demikian kelompok kritis ini, alih-alih mengalirkan devisa dan mewujudkan ambisi melonjaknya kunjungan wisatawan, justru pengembangan konsep wisata premium berpotensi menggilas sebagian warga lokal tersebab oleh penerapan pola kompetisi yang tidak fair. Efeknya adalah yang kaya tetap kaya dan yang miskin tetap miskin. Wisata premium cenderung mengekslusi warga lokal dari lapangan pariwisata. Mengapa?
Saya kira, mayoritas warga lokal belum siap menyambut 'konsep' wisata eksklusif itu. Soalnya adalah perhatian pemerintah dalam mempersiapkan SDM kepariwisataan, masih 'setengah hati'. Warga lokal umumnya masih menjadi 'penonton' dalam hiruk-pikuk aktivitas industri turisme tersebut.
Atas dasar itu, saya berpikir wisata premium merupakan sebuah 'lompatan perubahan' yang tidak tanpa risiko. Efek yang paling buruk adalah semua aset strategis dikuasai oleh segelintir kapitalis (investor). Para pebisnis pariwisata akan semakin kaya, sedangkan warga lokal kian marjinal.
Berapa jumlah orang lokal yang menjadi pemilik hotel, restauran, kapal wisata dan perusahan jasa akomodasi lainnya? Jawabannya adalah bisa dihitung dengan jari (tidak seberapa). Disparitas kepemilikan dan akses pengelolaan wisata jelas semakin lebar ketika konsep wisata premium itu diimplementasikan di sini.*
Penulis adalah pemerhati masalah social dan politik lokal Manggarai Barat. Tinggal di Labuan Bajo.