Bukan Asal 'Figur Muda'
Oleh: Silvester Joni
Ruang diskursus publik di kanal media sosial, terutama di tingkat lokal, kian semarak hari-hari ini. Isu politik seputar kandidasi dan beragam manuver di baliknya, menjadi tema sentral yang cukup menggerus energi atensi sebagian netizen. Factum kemeriahan itu, tidak hanya diselebrasi, tetapi juga dirawat agar humus diskursif itu mengokohkan pohon tradisi dialektika di sini.
Pelbagai kriterium baik yang bersifat aksidental (ornamental) maupun yang bersifat substansial, coba dibentangkan secara kreatif. Para broker politik tampil 'menjajakan dagangan politik' dari figur pujaannya yang dibumbui dengan sekian banyak argumentasi. Salah satu isu yang diangkat adalah kehadiran 'figur muda (usia)' dalam kontestasi politik Pilkada Mabar tahun 2020 nanti.
Isu itu, tak bisa dielak, dilihat sebagai peluang untuk merebut pasar wacana politik lokal saat ini. Mereka menyadari bahwa ada semacam 'permintaan' (baca: kerinduan) dari konsumen politik untuk membeli produk politik yang lebih 'fresh' dan energik. Karena itu, mereka menyodorkan beberapa 'sosok muda' yang dalam catatan mereka bisa menjadi 'pemuas dahaga politik' dari publik Mabar saat ini. Tidak hanya itu, mereka yang merasa diri 'layak menjadi bupati pun', begitu agresif memasarkan dirinya di ruang publik, di mana 'isu peremajaan politik' (regenerasi kepemimpinan) menjadi senjata utamanya.
Kegairahan para tokoh muda dan para supporter mereka dalam merebut kuasa di Mabar itu, di satu sisi, mesti dibaca sebagai semacam 'kebangkitan politik' yang patut disyukuri. Generasi muda berusaha untuk 'mengambil alih' roda kepemimpinan yang menurut mereka berjalan 'stagnan'. Orang muda kita, dengan demikian, tidak hanya melek politik, tetapi semakin berani untuk menjadi 'penata utama' rumah politik Mabar ini. Luar biasa.
Seperti biasa, karena sudah 'tertambat hatinya' pada figur tertentu (kandidat muda usia itu), maka apa pun kritik publik terhadap 'politisi belia bahkan karbitan itu', pasti ditepis dengan rupa-rupa argumentasi dan rasionalisasi. Penilaian subyektif terhadap 'keunggulan' sang jagoan, diapaksakan untuk diterima oleh semua kalangan. Padahal 'figur muda' itu, masih 'hijau' dalam berpolitik dan apalagi berbicara tentang kepemimpinan politik di Mabar.
Memang, sampai detik ini, tidak ada regulasi dan otoritas yang melarang para politisi muda untuk mencalonkan diri dalam bursa kandidasi bupati. Sebaiknya, tidak perlu ada pembatasan semacam itu. Semua mempunyai 'hak politik' yang sama. Tentu saja keberanian mereka untuk menjadi 'pemain kunci' dalam sebuah kontestasi, harus diapresiasi.
Tetapi, saya kira 'diskusi' kita tidak hanya berhenti pada tataran 'keberanian dan hak' semata. Kita mesti membidik figur dalam bingkai keberhasilan pelaksanaan berbagai 'proyek kemaslahatan publik' di Kabupaten ini. Pertanyaan intinya adalah apakah 'figur muda' yang dipasarkan itu, memiliki kecakapan politik istimewa untuk menjadi 'dokter politik' yang hebat di tanah Mabar? Apakah kualitas figur itu hanya diukur dari 'visi, misi, dan program' yang indah di atas kertas serta ditopang dengan berbagai cerita bombastis tentang kiprah sang figur di daerah lain?
Tidak ada yang menolak tentang 'urgensi' tampilnya figur muda dalam panggung politik lokal kita. Tetapi, kita juga mesti membuat semacam seleksi dan permenungan kritis tentang figur muda seperti apa yang 'relatif pas' dengan kebutuhan Mabar saat ini. Poin saya adalah kita tidak sekadar ikut arus mewacanakan hadirnya 'sosok muda' dengan menyodorkan calon yang sesuai dengan selera dan kepentingan subyektif kita.*
*Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik di Kabupaten Mabar, tinggal di Labuan Bajo.