Jangan 'Terkecoh' dengan Testimoni
Oleh: Silvester Joni
Pertama nian, artikel ini selain bercorak 'kritik sosial-politik', juga terselip semacam otokritik terhadap diri saya sendiri. Melalui refleksi ini, saya digugat untuk membuktikan 'kemurnian saya' dalam menggemakan suara kritis-profetis tentang situasi politik di kekinian, khususnya yang terjadi di Kabupaten Manggarai Barat (Mabar). Intinya, sedapat mungkin saya tidak tergoda untuk menjadi 'juru bicara' dari figur tertentu yang begitu bernafsu memburu kuasa di musim Pilkada ini.
Kita tahu bahwa ada sebagaian jurnalis dan penulis yang kemungkinan 'dipakai' oleh para kandidat bupati untuk mengkreasi 'narasi simpatik' tentang keunggulan politik yang mereka miliki. Para 'narator politik' tersebut berusaha menonjolkan 'talenta positif' dari kandidat pujaannya dan serentak 'melenyapkan atau menyembunyikan' aib politik yang pernah dilakoni oleh sang calon itu. Pelbagai 'testimoni' yang bersifat bombastis dan pengkultusan individu diracik secara kreatif dan didiseminasi secara massif di ruang publik.
Media partisan dan penulis picisan (amatir) semakin banyak saat ini. Media sosial menjadi 'kanal efektif' bagi jurnalis dan penulis yang oportunis dan pragmatis tersebut. Ada lembaga pers (media) yang tampil sebagai 'pengeras suara' dari kandidat tertentu. Konten dan kemasan beritanya hanya seputar aktivitas politik positif dari sang calon. Di mata mereka apapun yang dibuat oleh si kandidat, selalu mempunyai nilai berita. Bahkan, tidak jarang kita temukan semacam 'rubrik khusus' untuk menggemakan testimoni palsu kepada figur itu.
Pada sisi yang lain ada sebagian netizen yang bertindak sebagai 'broker politik' dari sosok politik tertentu. Mereka secara reguler membagun narasi yang berisi kebaikan dari kandidat jagoannya. Di mata mereka, kandidat itu adalah makluk politik paling komplit di Mabar ini. Tak ditemukan satu noktah hitam dalam kepribadian dari sang idola mereka.
Ulasan testimonial tentang figur politik tertentu di musim kompetisi seperti sekarang ini, tentu bersifat subyektif dan tendensius. Narasi politik yang terekspos di ruang publik, sekalipun berkelas dan edukatif, juga belepotan dengan interes politik berupa 'rayuan kepada publik' untuk menjatuhkan dukungan politik pada figur yang diperbincangkan.
Sangat sulit untuk menemukan tulisan naratif atau deskriptif yang bersifat obyektif dan netral dari sisi propaganda politik murahan. Karena itu, sikap kritis dan selektif dari publik, menjadi sebuah kemestian saat ini agar tidak mudah 'terhipnotis' oleh tulisan bernuansa promosi politik tersebut.*
*Penulis adalah pemerhati masalah sosial-politik, tinggal di Labuan Bajo