Manggarai Barat dan Barat Daya
Oleh Rudi Haryatno
(Alumnus STFK Ledalero, Maumere)
Beberapa bulan terakhir, panggung politik Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) tengah diramaikan dengan diskursus seputur calon Bupati dan Wakil Bupati. Bahwasannya, rakyat Mabar akan menghadapi Pilkada pada tahun 2020. Hiruk pikuk menjamu pesta demokrasi regional itu mulai terasa sekarang. Beberapa tokoh terbaik Mabar mulai melamar di beberapa Partai untuk melaju dalam perayaan demokrasi tahun 2020 itu.
Ada beberapa nama yang sudah dipublikasikan dan ramai diperbincangkan, di antaranya Maria Geong, Bernadus Barat Daya, Fidelis Pranda, Blasius Jeramun, Matheus Hamsi, Tobias Wanus, Edistasius Endi, Yulianus Weng, Ferdinandus Pantas, Piet E Jemadu, dan beberapa lagi. (Red-maaf penulisan nama bakal calon mungkin tak lengkap).
Kita mengakui bahwa mereka adalah putri-putra terbaik Mabar. Mereka mempunyai hati untuk membangun Mabar. Namun, tidak bermaksud untuk menepikan bakal kandidat lain, penulis tergugah untuk menulis seorang ‘bakal calon’ wakil bupati Mabar itu, yaitu Bernadus Barat Daya.
Penulis tertarik dengan petualangan politiknya, sejak mulai terbentuknya Kabupaten Mabar, hingga saat ini. Di mana, sekarang beliau berani masuk kancah politik pilkada dengan melamar sebagai bakal Calon Wakil Bupati (yang saat ini belum ada pasangan politisnya).
Kesibukannya turun aktif dalam politik praktis, tidak membunuh asanya untuk sekaligus mengembangkan kemampuan akademisnya. Dalam kesehariannya sebagai aktivis, dia berhasil menyelesaikan program Doktor Ilmu Hukum selama 4 tahun (2015-2019) di Universitas Borobudur-Jakarta. Putra kelahiran Rangat 9 Juni 1970 itu adalah akademisi yang terlahir dari panggung politik praktis.
Sekali lagi, tidak bermaksud untuk menepikan yang lain, dalam tulisan singkat ini penulis coba melihat relasi antara Bernadus Barat Daya dengan Kabupaten Manggarai Barat. Penulis tidak menelisik dari segi nama (Barat Daya dan Manggarai Barat), tetapi dari aktivitas politis di kancah politik domestic-Mabar.
Petualangannya di dunia politik sudah dirilisnya sejak berada di perguruan tinggi. Saat masih menjadi mahasiswa di Unflor (Universitas Flores) Ende, Flores-NTT, selain sibuk belajar di Fakultas Hukum, ia juga aktif di organisasi PMKRI Cabang Ende. Ia pernah menjabat sebagai Ketua Presidium PMKRI Ende selama 2 periode (1996-1997-1998). Pernah pula dipercayakan oleh civitas akademi Unflor untuk menjadi ketua Senat Fakultas Hukum (1995-1996). Ia juga pernah menduduki posisi Komandan Resimen Mahasiswa (MENWA) Unflor (1994-1995). Yang membanggakan ialah bahwa ongkos kuliah S1 diperolehnya dari honor tulisan di berbagai media massa, terutama SKM DIAN-Ende. Ia penulis lepas yang sangat produktif sejak mahasiswa. Sepintas, putra pasangan (alm) Yosep Lecer dan Teresia Seripa ini adalah orang cerdas dan kreatif sekaligus berpengalaman dalam berorganisasi dan memimpin. Ongkos kuliah sendiri dengan bermodalkan honor tulisan dari media, menjadi sesuatu yang sulit dilakukan oleh kebanyakan mahasiswa di zaman itu, tetapi Barat Daya telah membuktikannya.
Dapat pula dikatakan bahwa Barat Daya, sepertinya menghidupkan dialektika Hegel dan Marx secara simultan. Dalam Hegel, realitas alam merupakan aktualisasi dari ide. Fenomena itu dipengaruhi atau dibentuk oleh ide-ide. Sementara Marx, membalikan pemikiran Hegel. Baginya bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaan manusia, tetapi keberadaan sosial-lah yang menentukan kesadaran manusia. Fakta sosial-lah yang membentuk ide-ide atau gagasan. Kampanye revolusioner Marx bertolak dari fenomena sosial hegemoni kapitalis dan terhimpitnya kaum proletar.
Putra asli Kempo-Mabar ini, sekali lagi sepertinya masuk dalam dialektika kedua filsuf asal Jerman itu. Bahwa, di satu sisi dia dipengaruhi oleh Hegel. Dimana gagasan atau idelah yang mempengaruhi dan mentukan realitas. Di sisi lain, dia juga tergerak oleh Marx. Dimana fenomena dunia sekitar mempengaruhi gagasan. Artinya, Barat Daya dalam petualangannya sebagai zoon politicon menghidupkan dialektika Hegel dan Marx.
Di dalam ruang akademis, dia berimajinasi untuk melahirkan gagasan atau ide yang mampu memengaruhi realitas. Mengkritisi yang timpang. Itu terbukti melalui kegiatannya membentuk beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti The Komodo Watch (2002-2015), Lembaga Pemberdayaan dan Advokasi Masyarakat/LPAM (2000-2011), Mbeliling Lestari Abadi (2002-2015), Yayasan Komodo Indonesia (2003), dan beberapa LSM lainnya.
Sebagai aktivis dan praktisi politik, dia merangkaikan gagasan progresif konstruktif dari fakta sosial yang dijumpainya di lapangan. Itu terbukti dengan belasan buku yang berhasil ditulisnya, seperti, “Memperkuat KPK, Memberantas Korupsi”, 2019, Jakarta, Yakomindo, “Budaya Kempo: Tinjauan Etnografi, Antropologi dan Upaya Revitalisasi Budaya Suku Kempo”, 2019, Jakarta, Yakomindo (dalam proses sunting). “Rakyat Gugat Wakil Rakyat” 2019, Jakarta, Yakomindo (dalam proses sunting), dan beberapa lagi.
Barat Daya yang menyelesaikan Pendidikan Pascasarjana Program Magister Hukum di STIH-Jakarta (1999-2002) ini, mulai membangun relasi politis yang intim dengan Kabupaten Mabar sejak tahun 2000. Dia menjadi salah satu tokoh akademis sekaligus aktivis progresif yang berjuang di lapangan untuk melahirkan Kabupaten Mabar. Perjuangannya untuk membangun Mabar sungguh luar biasa. Bayangkan, ayah tiga anak ini pernah “ditahan” di LP Carep-Ruteng pada Mei 2001, terkait aksi “Pendudukan Bekas Kantor Pembantu Bupati Wilayah Barat di Labuan Bajo”, serta aksi Kongres Rakyat yang menghasilkan keputusan, “Membentuk Pemerintahan Manggarai Barat Bayangan.” Aksi ini merupakan ekspresi gerakan pembentukan Kabupaten Manggarai Barat serta menyebabkan ia dan beberapa aktivis lainnya sempat mendekam di balik jeruji besi sebagai ‘tahanan politik’.
Fakta yang mesti dicatat adalah, bahwa suami Adelheid Yohana Delianna, SH ini adalah pendiri FKPPM di Ruteng pada 12 Januari 2000. Juga sebagai Pendiri dan fasilitator pembentukan FKPPM Labuan Bajo, FKPPM Surabaya, FKPPM Malang, FKPPM Jakarta, dan FKPPM Ende. Wadah FKPPM merupakan organ gerakan yang menjadi cikal bakal lahirnya arus utama gerakan Perjuangan Pembentukan Kabupaten Mabar di zaman itu.
Perjuangan Barat Daya bersama teman-temanya tidak sia-sia. Kabupaten Mabar akhirnya resmi terbentuk setelah disahkannya Undang-undang Nomor 8 tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten Manggarai Barat. Perjuangannya untuk Mabar tidak berhenti di situ. Dia kemudian menjadi Ketua KPU Mabar periode 2003-2008. Setelah itu, ia pun menjadi anggota DPRD Mabar periode 2009-2014.
Hasrat mebangun Mabar ditunjukannya juga melalui keberaniannya bertarung pada Pilkada Mabar tahun 2010. Dia menjadi calon wakil Bupati. Inilah cara dari seorang Doktor Hukum Tata Negara itu merawat dan membangun Mabar, Kabupaten kaya potensi alam yang dilahirkan dari keringat perjuangannya bersama kawan-kawannya.
Jika diteropong dari karier politiknya, Barat Daya termasuk gemilang dan berpengalaman, juga tentu berpengaruh. Sebagai akademisi, ia ikut ambil bagian dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dengan menjadi dosen di beberapa perguruan tinggi. Dosen Universitas Komodo (UNIKOM) Ruteng (2005-2006), Dosen STIE-Jakarta kelas pengembangan di Labuan Bajo (2012-2013), dan Dosen Untag 45-Jakarta (2018-2019). Dalam sejarah Mabar, sekali lagi, anak petani sederhana ini termasuk salah satu aktor atau tokoh sentral perjuangan pembentukan Kabupaten Mabar. Selain berpengalaman dalam berpolitik praktis dan matang dalam tatanan intelektual, Barat Daya mempunyai relasi adekuat dengan Mabar. Dia sungguh merupakan aktor protagonis yang membidani kelahiran kabupaten Mabar. Karena itu, mustahil dia melupakan Mabar.
Kehadirannya dalam pilkada Mabar, bukan karena hasrat berkuasa! Toh, dia kini bekerja sebagai seorang Advokat (Pengacara) sekaligus sebagai tenaga dosen yang berkarya di Ibukota Negara-Jakarta. Tetapi, dia tentu ingin membangun Mabar. Perkawainan antara cerdas dan pengalaman berpolitik praktis, hemat penulis menjadi modal kuat dalam membangun Mabar, daerah kaya potensi alam ini.
Sebab, menjadi pemimpin bukan hanya soal cerdas, tanpa pernah merasakan hiruk-pikuk dan getar-getir panggung politik praktis. Kaena, itu akan seperti orang yang hanya tahu berbicara banyak, isinya di awang-wawang. Akibatnya, gagasan itu tidak mendarat di bumi. Sebaliknya, aktif dalam dunia politik praktis, tanpa kemapanan intelektual, akan menjadi pemimpin yang barbar. Melakukan sebuah kebijakan tanpa pertimbangan rasional. Sebab yang diidealkan adalah, pemimpin yang mampu mengawinkan kecerdasan dan aktivisme. Tepatnya, berpengalam dalam dunia praktis dan mapan dalam dunia intelektual.
Dan bagi penulis, sosok Barat Daya adalah salah satu bakal calon yang mempunyai kemampuan itu. Dalam darahnya mengalir spirit politik praktis dan intelektualitas yang mapan. Soal hati dan niat membangun Mabar, tak perlu ditanyakan lagi. Toh dia adalah salah satu aktor yang melahirkan Mabar. Boleh dibilang, dia adalah salah satu ‘ayah politis’ Kabupaten Mabar. Maka logisnya, dia tak akan pernah merusak anak kandung politisnya sendiri! Ia justru akan dengan segala daya upaya, akan senantiasa merawat dan membesarkan anak kandung politisnya itu. Ya, kita percaya itu. Semoga. (*)
Penulis adalah alumnus STFK Ledalero, Maumere, FLORES-NTT. Kini berkarya di Seminari Petrus van Diepen, Aimas, Sorong - Papua Barat.