Matinya ‘Wadah Kaderisasi Pemimpin (Politik)’

Advertisement

Masukkan script iklan 970x90px

Matinya ‘Wadah Kaderisasi Pemimpin (Politik)’

Admin
Thursday, October 17, 2019

(Foto/Dokpri).


Matinya ‘Wadah Kaderisasi Pemimpin (Politik)’


Siapa atau lembaga apa yang bisa ‘menformat’ kader pemimpin politik yang militan dan berkompeten? Pertanyaan ini mengingatkan kita pada perdebatan klasik perihal tampilnya seorang pemimpin di ruang publik. Bahwasannya, apakah seorang pemimpin itu dilahirkan atau diciptakan (dipersiapkan)? Ada banyak teori dan hipotesis untuk menjawab isu itu.
                      
Tulisan ini tidak bermaksud untuk merespons isu kontroversial itu, tetapi coba mendiskusikan tentang urgensi dan relevansi hadirnya 'wadah kaderisasi pemimpin'yang kredibel dan berkompeten. Tesis dasar tulisan ini adalah seorang pemimpin (politik) tidak serta merta muncul dari ruang vakum atau jatuh begitu saja dari langit. Seorang kader mesti melewati proses formasi kepemimpinan yang berjenjang dan ditempa dalam
sebuah organisasi yang secara khusus mencetak para pemimpin politik itu. Lembaga atau organisasi apakah itu?

Partai politik sebagai 'wadah kaderisasi pemimpin' sudah tidak berjalan optimal. Kita tidak menemukan partai yang secara serius menggodok kurikulum kaderisasi ini dalam platform ideologi kepartaian. Alih-alih berfungsi sebagai wahana pengkaderan, Parpol hari-hari ini bermetamorfosis sebagai biro pendaftaran para kandidat semata. Mereka tidak peduli apakah para pendaftar itu sudah melewati serangkaian proses formasi kepemimpinan dalam lembaga kredibel atau tidak. Semuanya diakomodasi yang ditopang dengan dengan argumentasi berbasis 'hak politik' dipilih oleh publik.

Ketika Parpol lalai atau absen menjalankan peran pengkaderan ini, maka masih adakah figur yang kita anggap sebagai 'kader' untuk mendapat mandat sebagai pemimpin politik di kabupaten Mabar ini? Saya berpikir terminologi ‘pemimpin’ itu sendiri rasanya terlampau mewah untuk digelindingkan dalam panggung diskursus politik lokal kita. Sebenarnya, kita tidak sedang ‘membidik pemimpin’ dalam arti yang ketat, tetapi lebih tepat ‘penguasa politik’.

Implementasi sistem demokrasi elektoral saat ini, tidak memungkinkan tampilnya ‘pemimpin politik’ yang sesuai dengan kriteria dan ekspektasi publik. Partai politik yang diharapkan sebagai ‘kawah candradimuka’ lahirnya pemimpin yang berkualitas, justru tampil loyo dan terperangkap dalam kultur kerja yang instan.  Mereka memperlihatkan ‘taring politiknya’ ketika musim kontestasi tiba. Itupun hanya sebatas mengakomodasi ‘hasrat politik’ dari para pemburu kuasa belaka. Strategi ‘membuka pintu pendaftaran’ seperti yang kita saksikan saat ini menjadi evidensi politik yang valid bahwa partai sudah kehilangan orientasinya sebagai ‘lembaga pencetak kader yang mumpuni’. Era kematian ‘wahana kaderisasi’ sudah mendekat.

Karena itu, saya sangat pesimistis ketika ada sekelompok elemen masyarakat yang coba ‘menyalakan’ api harapan perihal ‘datangnya’ pemimpin yang sangat dibutuhkan oleh Kabupaten Mabar saat ini. Soalnya adalah para kandidat yang tampil saat ini, selain umumnya sudah ‘lapuk dimakan usia’, juga tidak dibesarkan dalam iklim formasi kepemimpinan dalam lembaga politik yang kredibel dan berkompeten.  Calon yang tak punya pengalaman ‘ditempa dalam atmosfir kepemimpinan yang handal’, berpotensi dilindas oleh sistem yang memang sudah sangat koruptif saat ini.

Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik di Kabupaten Mabar, tinggal di Labuan Bajo.