Wiranto, Hanum Rais, dan Tiga Istri TNI
Oleh: Rudi Haryatno
Indonesia sepertinya tak pernah luput dari isu terorisme. Adagium “Homo Homini Lupus” Thomas Hobbes sepertinya masih relevan dengan situasi Indonesia sekarang. Thomas Hobbes, filsuf asal Inggris menerangkan perihal latar belakang kehadiran negara, yakni karena manusia selalu berada dalam situasi chaos yang diciptakannya sendiri. Hobbes membingkai fakta pra-negara dalam adagium klasik yang terkenal, “Homo Homini Lupus-manusia menjadi serigala bagi sesamanya”.
Salah satu kejadian yang menggambarkan secara tersurat makna adagium tersebut di atas adalah peristiwa penikaman Wiranto oleh oknum yang diduga terpapar ISIS, pada Kamis (10/10/2019). Kejadian miris ini terjadi di Pandeglang, Banten, usai Menko Polhukam ini menghadiri upacara peresmian Gedung Kuliah Bersama di Universitas Mathla'ul Anwar.
Ironis memang. Namun, di balik ironisme itu ada hal menarik yang memantik tawa geli, serentak juga keprihatinan dan empati. Yakni, perihal komentar dan respon dari masyarakat atas naas yang menimpa mantan ABRI ini.
Suatu keniscayaan memang, bahwa pasca kejadian penikaman itu ada berbagai respon yang dilontarkan rakyat. Ada yang menyampaikan empatinya sembari mengutuki pelaku penikaman yang berlaku seperti “singa” itu.
Namun, tak sedikit juga yang menyampaikan komentar miring yang bukan empati, dengan berbagai bahasa sindiran kepada Wiranto selaku korban. Ini yang dimaksud penulis, komentar yang memantik tawa geli, sekaligus prihatin dan empati.
Hanum Rais dan tiga istri TNI misalnya, menyampaikan sebuah ungkapan yang bukan empati, atau lebih tepatnya sindiran. Masa, Hanum Rais mengatakan itu adegan, sebelum ada jumpa pers dari pihak yang bertanggung jawab. Dalam twitter @hanumrais tertulis bahwa kasus penusukan hanya settingan agar dana deradikalisasi terus mengucur. Dalam kalimatnya mengandung semacam “kesangsian.” Kata “settingan” menunjukan bahwa putri Amien Rais ini belum yakin kebenaran kejadian itu sebagai fakta teror sesungguhnya. Ada rekayasa di sana. Begitu kira-kira pikir Hanum.
Selain komentar Hanum, ada juga beberapa komentar dari tiga istri TNI, yakni Istri dari Kolonel Hendi Suhendi, pemilik akun Facebook Irma Zulkifli Nasution, istri Peltu YNS, pemilik akun Facebook Fita Sulistyowati, dan istri Sersan Z berinisial LZ.
Beda dengan Hanum, tiga istri TNI itu mempublikasikan komentar tidak sedap dan provokatif atas naas yang menimpa mantan Ketua Umum Partai Hanura itu. Salah satunya dari Istri Dandim 1417 Kendari, Kolonel Hendi Suhendi, yang berbunyi: "Jangan cemen pak, kejadianmu tak sebanding dengan berjuta nyawa yang melayang," yang diunggahnya dalam media sosial. Tak ada empati di sana.
Respon Hanum Rais, secara filosofis bisa dibenarkan. Descartes dalam filsafatnya menganjurkan satu metode filsafat untuk menangkap kebenaran, yaitu “dubium metodicum” (kesangsian yang dipakai secara metodis). Dalam metode ini, kita membimbangkan segala sesuatu, semua pengetahuan, pendapat, dan seluruh kenyataan. Yang tertinggal hanya kesangsian itu sendiri.
Intinya, kita mesti menyangsikan segala hal. Mempertanyakan kebenaran segala fenomena sosial yang terjadi di sekitar kita, agar tidak terjebak dalam kekeliruan (fatal). Itulah metode sahih untuk menvalidasi kebenaran baginya, sehingga kebenaran itu bisa dipertanggungjawabkan. Kira-kira seperti itu.
Dalam konteks ini, Hanum Rais sudah mengaktualisasikan “dubium metodicum” Descartes itu. Aggota DPRD DIY ini tidak menelan begitu saja peristiwa yang dialami Wiranto. Namun, Hanum tidak sampai pada mencari tahu fakta yang sebenarnya.
Dia hanya sampai pada kesangsian, tanpa ada hasrat mengatasi kesangsian itu. Karena itu, dia terlampau subyektif, serentak terlalu pagi membuat kesimpulan, “itu hanya settingan”. Akibatnya Hanum terjebak dalam kesangsiannya sendiri. Tidak seperti Hanum, tiga istri TNI malah menyampaikan respon yang bukan karena tidak percaya (sangsi) tetapi karena (mungkin) ada luka emosional yang disebabkan oleh Wiranto. Bukan luka akibat serangan secara fisik, tetapi karena cuitan, atau komentar, atau kata, atau laku masa lalu Wiranto.
Menurut Pengamat Sosial Drajat Tri Kartono, kejadian ini tidak bisa digeneralisirkan untuk menggambarkan kondisi batiniah TNI secara utuh. “Karena itu kan hanya beberapa orang, tidak mewakili sebuah korps kumpulan ibu-ibu tentara,” kata Drajat saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (12/10/2019) petang. Dosen Sosiologi Universitas Sebelas Maret (UNS) ini juga berpendapat bahwa tindakan itu dilakukan atas dasar emosi seorang perempuan yang kemudian menular ke perempuan lain (Kompas.com).
Anehnya, istri para penjaga pertanahanan dan keamanan bangsa ini mempublikasikan dorongan emosional pribadi ke media sosial, yang tentu akan berdampak bagi kondusifitas dan integrasi bangsa. Tesis mereka mengandung provokasi, dan secara implisit menggambarkan pembangkangan dan ketidaksenangan terhadap simbol negara.
Konsekuensi dari komentar “hampa” rasionalitas itu serentak mentahbiskan mereka menjadi korban. Jika Wiranto menjadi korban karena aksi pelaku orang di luar dirinya, para komentator (Hanum Rais dan tiga istri TNI) serentak menjadi korban dan pelaku sekaligus, atas diri sendiri. Miriskan.
Kini, Hanum Rais tengah dilaporkan ke kepolisian, sedangkan tiga istri TNI menjadikan suami mereka korban. Ada yang dikenai sanksi penahanan, ada pula yang ditahan sekaligus dicopot dari jabatan yang dipangkunya. Sekali lagi, miris! Kebodohan ternyata bisa menjerat diri sendiri menjadi korban, seperti Hanum Rais. Demikian, keteledoran karena desakan emosional bisa menjerumuskan kita dalam penyesalan, seperti ketiga istri TNI.
Membaca dan menyaksikan adegan kedunguan Hanum Rais dan beberapa istri TNI ini serentak mengingatkan penulis pada ungkapan filsuf kontemporer, Wittgenstein: “Where of one cannot speak there of one must be silent – Tentang apa yang tak terkatakan lebih baik diam”.
Bagi penulis, inilah wejangan bijak bagi mereka yang suka menghina orang lain, tanpa dilatari fakta. Ungkapan bijak Wittgenstein ini bukan untuk membungkam suara kritis. Tetapi untuk mendorong orang mencari tahu suatu fakta secara sahih, sebelum mengkritisinya. Artinya, bersuara atau bertesis mesti didukung dengan argumentasi atau fakta. Kalau memang tidak tahu persoalan, atau data dan pengetahuan masih dangkal, yah kita mesti diam pada titik itu.
Penulis adalah alumnus STFK Ledalero, tinggal di Seminari Petrus van Diepen, Aimas, Sorong-Papua Barat.