"Grab": Berkat Atau Bencana?

Advertisement

Masukkan script iklan 970x90px

"Grab": Berkat Atau Bencana?

Admin
Friday, November 1, 2019



"Grab": Berkat Atau Bencana?

Oleh Sil Joni

Kita tidak bisa menghindar dari 'metotodologi' kerja sistem ekonomi 'pasar bebas' (neoliberalisme). Hampir setiap waktu, semua sudut buana pijakan kita digempur dengan sistem kerja yang mengandalkan teknologi dan etos kerja yang kompetitif.

Labuan Bajo, sebagai salah satu kota mungil yang berpeluang menjadi kota pariwisata bertaraf internasional, tentu menjadi 'arena terbuka' bagi bergulirnya aneka produk dan beroperasinya perusahaan yang menawarkan kemudahan demi kemudahan kepada manusia. Kota ini tentu 'dilirik oleh berbagai kalangan (baca: kaum kapitalis) untuk melebarkan 'sayap bisnis' demi memburu untung secara optimal. Mereka coba membuat semacam 'riset' dan pendekatan politik agar peluang berusaha di kota ini lekas terwujud.

Hari-hari ini, publik Mabar begitu 'serius' memperbincangkan wacana seputar kehadiran perusahaan Transportasi Online (Grab) di Labuan Bajo. Perusahaan yang bermarkas di Singapura itu diberitakan telah mengadakan semacam 'pendekatan/perjumpaan' dengan bupati Mabar, Agustinus Ch.Dula terkait dengan rencana penerapan moda transportasi berbasis digital itu.

Dalam pertemuan itu, Gusti Dula seperti yang dilansir oleh media daring Floresa.co edisi 25 Oktober 2019 memberikan respons kritis dan arif terhadap perusahaan itu. Beliau mengingatkan bahwa 'kehadiran perusahaan itu belum definitip dan harus melewati tahap sosialisasi atau pelatihan terhadap para pengemudi lokal. Jangan sampai keberadaan Grab bisa 'mengurangi bahkan melayapkan' pendapatan dari para pengemudi lokal yang sudah sekian lama beroperasi di bidang jasa transportasi konvensional.

Seperti biasa, sebuah wacana baru pasti mendapat reaksi yang beragam dari publik. Demikian halnya berita tentang 'beroperasinya' perusahaan transportasi online ini, ada yang pro dan tentu ada juga yang kontra. Kontroversi semacam itu, saya kira tidak hanya sah-sah saja, tetapi sebuah kebiasaan yang perlu dirawat dan dihidupkan dalam mendesain dan mengimplementasikan sebuah kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan publik.

Para pengemudi (driver) lokal tentu saja menjadi kelompok terdepan yang bereaksi cukup keras terhadap 'rencana itu'. Mereka menilai bahwa kehadiran Grab (sistem transportasi berbasis aplikasi itu) berpotensi mengurangi bahkan menghilangkan tingkat pendapatan mereka. Grab, bagi mereka bukan hanya perkara 'kecerdasan' dalam menggunakan teknologi digital, tetapi soal 'daya tahan (survivalitas) mereka untuk tetap berada di Labuan bajo. Pasalnya, adalah situasi sosial-budaya dan level sumber daya manusia kita, belum memungkinkan diterapkannya moda transportasi on line itu.

Alih-alih beradaptasi dengan 'kultur digital', sistem kerja konvensional (tradisional) saja belum tertata dengan baik. Bagaimana mungkin kita 'melompat' ke peradaban baru sementara cara kerja lama saja masih amburadul? Karena itu, wacana penerapan Grab di Labuan Bajo, dari perspektif para driver, tentu saja kurang menguntungkan secara ekonomis. Artinya, Grab dilihat sebagai "kompetitor' yang berpeluang menggilas rejeki mereka dari sektor jasa transportasi darat tersebut.

Sementara itu, kontras dengan argumentasi para pengemudi tersebut, umumnya publik Mabar sangat 'antusias' dengan wacana kehadiran Grab di Labuan Bajo. Aneka opini coba dibentangkan untuk menjustifikasi perihal urgensi kehadiran Grab di kota pariwisata ini. Kubu afirmatif ini menilai bahwa Grab merupakan 'simbol modernisme' (kemajuan dan perubahan) yang menawarkan sekian banyak kemudahan bagi para pengguna jasa transportasi. Bagi kelompok ini, Grab bisa menjadi 'solusi (jawaban) dari isu transportasi yang berjalan 'ngawur alias sesuka hati' selama ini. Hanya dan melalui Grab publik terutama para pengguna jasa, akan merasa nyaman dari sisi tarif dan pelayanan yang efektif dan efisien.

Kendati demikian, saya kira 'pemujaan' terhadap teknologi digital (kemajuan) perlu juga dikonfrontasikan dengan 'kepentingan manusia' yang sangat dirugikan oleh kehadiran 'mekanisme kerja modern' itu. Prinsipnya adalah manusia tidak boleh 'diperbudak' oleh arus kemajuan itu. Kita tidak bisa menggunakan alasan kemajuan (modernisasi/digitalisasi) untuk membenarkan tindakan 'pembunuhan terhadap nasib segelintir orang' (baca: para pengemudi lokal) dalam menerapkan Grab di kota ini.

Benar bahwa di hampir semua kota besar, sistem transportasi online ini sudah diterapkan. Tetapi, hal itu tidak menjadi alasan untuk "tidak mendengarkan jeritan dan keluhan' dari para pengemudi konvensional di sini perihal impak negatif dari Grab itu. Labuan Bajo, saya kira tidak sama konteks dan setting sosial-politiknya. Pengoperasian moda transportasi online membutuhkan kajian yang komprehensif.*

*Penulis adalah pemerhati masalah sosial-politik, tinggal di Labuan Bajo