"Camat Boleng" Mulai Oleng
Oleh: Sil Joni
"Diduga Palsukan Surat Tanah Camat Boleng Ditahan". Itulah salah satu bunyi judul berita lansung dari koran Victorynews (27/11/2019). Diberitakan bahwa penyidik Kepolisian Daerah (Polda) NTT secara resmi menahan Camat Boleng, Bonaventura Abunawan. Penahanan itu terkait dugaan pemalsuan surat atau dokumen tanah ulayat di wilayah itu.
Selanjutnya, koran yang sama melansir isu seputar laporan tua adat Nterlaing terhadap Camat Boleng ke Polda NTT pada bulan Oktober yang lalu. Camat Boleng diduga memalsukan dokumen soal 'dukungan 22 tu'a Golo' terhadap wewenang adat Mbehal dan pengangkatan Yohanes Usu, bapak dari Camat Boleng sebagai 'koordinator ulayat Mbehal'.
Dalam surat yang diduga palsu itu, bupati Mabar, Agustinus Ch. Dulla juga 'membubuhkan' tanda tangannya. Karena itu, bupati Mabar juga akan diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan pemalsuan dokumen itu.
Kebetulan penulis mendapat 'satu kopian dari surat yang diduga palsu itu'. Surat itu diberi judul: "KESATUAN ADAT WA'U PITU GENDANG PITU TANA BOLENG: SURAT PERNYATAAN". Isi surat itu berupa 7 butir pernyataan para Tu'a Golo, Tu'a Gendang, Ulayat di wilayah Boleng.
Pertama, tu'a adat ulayat Mbehal merupakan koordinator atau yang dituakan dalam Kesatuan Adat Wa'u Pitu/Gendang Pitu. Kedua, bapak Yohanes Usuk adalah Tu'a adat dan Tu'a Gendang dari ulayat Mbehal. Ketiga, soal wilayah ulayat Gendang Mbehal.
Keempat, kampung Rangko merupakan wilayah adat ulayat Mbehal yang disebut Riang. Karena itu, Kampung Rangko belum berhak memiliki seorang Tu'a Golo kecuali seorang Tu'a Riang sesuai dengan hukum adat.
Kelima, orang pertama yang meminta lahan Kampung Rangko kepada Tu'a Adat Ulayat Mbehal adalah bapak La Anca yang keturunannya saat ini diakui oleh Ulayat Mbehal. Yang menjadi Tu'a Riang Rangko adalah Semahi. Keenam, saudara Abdullah Duwa tidak pernah diangkat oleh Ulayat Mbehal untuk menjadi Tu'a Riang Rangko.
Ketuju, oleh karena itu, segala perbuatan dan tindakan dari saudara Abdullah Duwa sehubungan dengan pembagian, kepemilikan, dan penjualan tanah adat Ulayat Mbehal di wilayah Rangko dan sekitarnya adalah tidak benar dan tidak sah.
Surat itu dibuat di Mbehal, pada tanggal 29 Agustus 2018 dan ditandatangani oleh Tu'a Adat Ulayat Mbehal dan 23 Tu'a Golo/Tua Riang di wilayah itu, lengkap dengan meterai dan cap jempol/jari. Pada bagian akhir, tertera nama dan tanda tangan Bupati Mabar, Agustinus Ch. Dulla menggunakan tulisan tangan (tidak diketik), tidak bermeterai, dan tidak ada cap jempolnya.
Penulis tentu tidak memiliki kewenangan dan kompetensi untuk memastikan apakah 'Surat Pernyataan' itu, asli atau palsu. Apa indikator sehingga surat itu dikatakan palsu? Apa implikasi hukum dari tindakan pemalsuan itu? Semua pertanyaan itu merupakan ranah yang dimasuki oleh pihak penegak hukum.
Kendati demikian, penulis coba mengendus semacam 'kejanggalan' dalam surat itu yang menyebabkan sang Camat ditahan oleh Penyidik Polda NTT. Pertama, surat itu tidak ditandatangani oleh sang Camat sendiri. Siapa yang 'mendesain dan memfasilitasi rapat para tu'a Golo/Riang di Mbehal' yang menghasilkan 'surat pernyataan' tentag 7 poin di atas? Apa peran yang dimainkan oleh Camat Boleng dalam Surat pernyataan itu? Untuk tujuan apa surat itu dibuat dan siapa yang memanfaatkan surat itu? Apakah Camat Boleng memakai surat itu untuk 'membenarkan' klaimnya atas status tanah ulayat di wilayah Adat Mbehal?
Kedua, benarkah Yohanes Usuk dan para tu'a Golo/Riang itu berembuk bersama untuk 'membahas 7 poin di atas'? Apakah mereka manusia yang 'melek teknologi' dan memiliki kecakapan untuk menghasilkan pernyataan yang berbobot itu? Saya sangat ragu. Selanjutnya, apakah para tu'a Golo/Riang itu mewakili 'komunitas adat' untuk mengikuti rembuk adat akbar di Mbehal itu? Apakah 7 butir itu sudah didiskusikan secara matang di wilayah komunal masing-masing?
Ketiga, poin 4-7 seperti yang tertera dalam surat itu berbicara secara khusus tentang Rangko dan persoalan legalitas adat status Rangko serta 'Tu'a adat' yang diangkat oleh Mbehal di tempat itu. Pertanyannya adalah mengapa para tu'a Golo/Riang dalam wilayah Boleng itu 'dilibatkan' dalam urusan status adat dari Rangko dan para 'Tu'a Riang' di sana? Mengapa mesti 'mengemis dukungan' dari para 'tu'a Golo untuk mendelegitamasi otoritas adat yang dipegang pribadi tertentu di Rangko?
Keempat, agak membingungkan memang mengapa pada item pengesahan oleh bupati harus menggunakan tulisan tangan, tidak bermeterai dan tidak ada cap jempolnya. Apakah ada unsur kesengajaan bahwa bagiannya bupati tidak perlu diketik?
Kelima, sudah sejauh mana surat itu dipakai oleh Camat Boleng untuk menanggapi kasus kepemilikan dan jual beli tanah di wilayah Rangko dan sekitarnya? Apakah ada pihak-pihak yang dirugikan akibat penggunaan surat yang dianggap palsu itu.
Akhirnya, jika surat itu dinilai palsu, bagaimana dengan status dari pribadi yang tercantum dalam surat itu. Apakah mereka (para Tu'a Golo/Riang dan bupati Mabar) ikut membantu dalam membuat surat fiktif itu? Apakah mereka juga terlibat dalam tindak kejahatan pemalsuan dokumen itu?
Kita serahkan saja kepada pihak berwajib untuk 'menggeledah lebih jauh' perihal otentisitas surat itu dan peran pihak-pihak yang ikut menandatangani surat itu. Jika terbukti surat itu palsu, maka ini tentu menjadi preseden buruk soal klaim otoritas ulayat dan adat yang didendangkan oleh sebagian masyarakat Mabar saat ini.*

