Jangan 'Salah Pilih Lagi' (Sebuah Gugatan Politik di Masa Kontestasi Pilkada)

Advertisement

Masukkan script iklan 970x90px

Jangan 'Salah Pilih Lagi' (Sebuah Gugatan Politik di Masa Kontestasi Pilkada)

Admin
Tuesday, November 12, 2019

(Foto/komodopos.com).


Jangan 'Salah Pilih Lagi' (Sebuah Gugatan Politik di Masa Kontestasi Pilkada)

Oleh: Sil Joni

Saya tak pernah kehilangan inspirasi dan kreasi ketika menulis tentang 'apa saja' di wilayah Mabar ini. Bagi saya, Mabar adalah sebuah 'teks besar' yang dibaluti dengan lapisan problematika yang kompleks. Tugas kita adalah 'membongkar' berbagai persoalan itu sebelum berubah menjadi kanker yang menggerogoti tubuh kabupaten ini.

Menurut saya, semenjak Kabupaten ini terbentuk persoalan demi persoalan datang silih berganti. Mabar tidak seindah obyek wisata alam dan budaya yang sering dibangga-banggakan itu. Memang semua aset itu, sejatinya menghadirkan rasa bahagia bagi warga. Tetapi, faktanya masih banyak warga Mabar yang terhimpit berbagai beban derita tersebab oleh 'kelengahan' pemerintah dalam mencari solusi guna mengatasi tumpukan persoalan yang menindih kabupaten ini.

Tentu, ruang ini terlalu sempit untuk melitanikan dan menarasikan berbagai persoalan itu. Poinnya adalah Mabar belum finis atau masih dalam 'proses menjadi'. Rupa-rupa isu itu,sebetulnya merupakani bagian dari sebuah proses untuk menjadi Mabar seutuhnya. Kita tidak bisa mengelak dari berbagai prahara sosial dan politik di sini.

Kontestasi Pilkada Mabar sebentar lagi akan dihelat. Tetapi, khasak-khusuk seputar 'sosok yang ideal' untuk menjadi top political leader di sini, semakin ramai diperbincangkan di berbagai kanal diskursus publik. Pilkada ini menjadi momentum strategis untuk merefleksikan 'masa depan' dari kabupaten ini.

Wajah Mabar dalam lima tahun ke depan sangat bergantung pada 'kecerdasan publik' memilih pemimpin politik di musim kontestasi ini. Perjalanan selama 15 tahun bersama beberapa 'nahkoda politik' menjadi lensa ideal untuk menentukan secara tepat kandidat bupati yang pantas untuk Mabar.

Tesis saya adalah wajah Mabar tidak 'sekusam' sekarang jika selama 15 tahun ini, dikendalikan oleh pemimpin yang visioner, progresif, kreatif, inovatig, berkompeten, dan imajinatif. Pasalnya, wilayah ini dianugerahi sumberdaya alam (keunggulan komparatif) yang mengundang decak kagum publik. Namun, semua aset itu gagal 'direkayasa' oleh elit politik lokal sebagai 'ladang rezeki' bagi warga Mabar. Entah mengapa, dari bupati ke bupati, publik Mabar belum 'mendarat di pantai kemaslahatan' yang semestinya.

Pilkada adalah momentum mengevaluasi sekaligus menghakimi para elit politik yang hendak merebut kuasa di tanah wisata ini. Namun, masalahnya adalah akses publik untuk menentukan secara lansung dan terbuka sosok yang dianggap kapabel dalam mengemudikan 'biduk politik Mabar' sangat terbatas untuk tidak dibilang tidak ada sama sekali. Mengapa?

Proses perekruitmen para kandidat masih bersifat elitis dan tertutup. Partai politik mendapat 'previlese ' untuk memasarkan kandidat ke publik. Kita terpaksa atau lebih tepat dipaksa untuk menerima begitu saja 'figur politik' yang disodorkan parpol tersebut.

Pertanyaannya adalah apakah seruan agar publik "tidak salah memilih", masih memiliki basis argumentasi yang meyakinkan? Bukankan 'ruang pertimbangan kritis' sudah dibatasi oleh mekanisme dan regulasi formal yang berlaku?

Saya berpikir, justru karena 'kelemahan prosedural itulah' maka publik mesti cermat dalam menentukan preferensi politik dalam musim kontestasi ini. Publik tidak boleh menyerah begitu saja pada skenario parpol yang dibungkus dengan dalil regulasi itu. Para kandidat yang diorbitkan parpol mesti dievaluasi dan diseleksi secara kritis oleh publik.*

Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik lokal Manggarai Barat. Tinggal di Labuan Bajo.