Keberanian Memilih Pasangan dan Bonus Politik
Oleh Silvester Joni
Kompetisi politik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) membutuhkan strategi yang jenius. Kursi kekuasaan itu tidak ‘jatuh begitu saja’ dari langit mimpi. Kita mesti ‘memeras otak’ bagaimana mendesain dan mengeksekusi berbagai strategi yang jitu dan efektif dengan memperhitungkan dinamika dan ‘timing politik’ yang tepat.
Salah satu unsur yang mesti dikalkulasi secara cerdas adalah keberanian untuk memutuskan ‘pasangan politik’ yang ideal untuk berkolaborasi dalam merebut mahkota kekuaasaan politik di level daerah. Dengan itu, kita bisa mempersiapkan segala ‘amunisi politik’ untuk bertanding secara elegan dan fair dalam sebuah kontestasi. Kita mempunyai banyak waktu, ruang, dan energi untuk merancang aneka trik dan metode dalam menaklukan hati publik.
Jika kita ‘membaca secara adequat’ berbagai adegan politik dalam panggung Pilkada Mabar, kita akan menjumpai ‘fenomen’ yang kontras dengan idealisme di atas. Masih ada bakal calon bupati (bacawabup) yang masih ‘ragu dan malu-malu’ untuk memperkenalkan kekasih politiknya kepada publik. Ibu Maria Geong misalnya, hingga detik ini sepertinya belum mempunyai semacam ‘ketegasan politik’ untuk memilih calon wakilnya dan serentak mendeklarasikan pasangan itu secara terbuka di hadapan publik Mabar.
Dalam berbagai kesempatan, ibu Maria hanya merespons secara diplomatis-politis perihal siapa ‘pendamping politik’ yang pas, bukan hanya untuk kepentingan dirinya tetapi, yang paling utama adalah cocok untuk menuntaskan berbagai proyek kesejahteraan publik di Mabar. Kita sering mendengar argumentasi yang terkesan ‘menyembunyikan pilihan politik itu’. Salah satunya adalah tidak bisa ‘melangkahi’ hak partai untuk menentukan teman duet itu. Semuanya dikembalikan ke soal ‘mekanisme internal’ partai koalisi yang mengusung paket itu.
Memang di satu sisi, sikap semacam itu memperlihatkan aspek kejujuran dan kerendahan hati dalam berpolitik. Setidaknya, jawaban semacam itu mau memberi pesan kepada publik bahwa figur itu sangat ‘patuh’ dan menghormati aturan main yang ditetapkan oleh partai. Namun, pada sisi yang lain, saya kira pasangan itu bakal kurang ‘menuai semacam bonus politik’ ketika sejak awal dia sudah membuat komitmen dan perjanjian politik dengan calon wakil tersebut. Mengapa? Paket itu nanti agak ‘telat’ dalam memainkan ‘bola politik’ dalam gelanggang politik yang amat luas dan kompleks.
Tentu beda ceritanya ketika jauh sebelum keputusan partai ditetapkan, paket itu sudah ‘mengirarkan janji politik’ untuk bersatu hati dalam kontestasi tersebut. Modal politik yang dipunyai oleh keduanya akan diberdayakan secara optimal. Mereka mempunyai cukup banyak waktu dan tenaga untuk ‘mengolah’ berbagai sumberdaya politik demi memenangkan pertarungan politik itu.
Saya kira, pasangan yang sudah ‘jadi’, seperti Edi-Weng, PRAJA, FRES, HATI kendati masih belum aman dari sisi kendaraan politik, mereka sudah mengayun langkah untuk merebut pasar politik. Tim dan jaringan politik mereka mulai menyebar ke kampung-kampung. Dipinang oleh partai politik itu hal lain, tetapi ‘keberanian’ untuk memilih pasangan menjadi salah satu elemen kunci untuk menjual produk politik di berbagai forum politik.
Karena itu, jika ingin memenangkan pertarungan, tidak ada pilihan lain, selain berani mengambil risiko untuk tampil bersama dengan pasangan politik dalam satu kendaraan yang sama. Dengan itu, paket itu akan mempunyai banyak ‘kemungkinan’ untuk menerapkan berbagai manuver dan trik politik dalam memengaruhi preferensi publik terhadap paket calon yang bertanding dalam kompetisi politik itu.
Rasanya, akan sangat ‘sulit’ bagi paket itu nanti untuk ‘membongkar’ area politik yang sudah masuk dalam blok politik dari ‘paket yang sudah jadi’ tadi. Mereka mesti mengerahkan energi ekstra untuk ‘bermain habis-habisan’ di daerah yang diklaim sebagai basis dari paket lain tersebab oleh ‘lambannya’ pergerakan tim dan minimnya kesempatan untuk membangun konsolidasi politik yang efektif.*
*Penulis adalah pemerhati masalah sosial-politik, tinggal di Labuan Bajo.