Mengolah ‘Hawa Nafsu’ (Sebuah Urgensi)

Advertisement

Masukkan script iklan 970x90px

Mengolah ‘Hawa Nafsu’ (Sebuah Urgensi)

Admin
Friday, November 8, 2019




Mengolah ‘Hawa Nafsu’ (Sebuah Urgensi)

Oleh: Sil Joni

Pertama-tama kita perlu membuat definisi atau batasan dari term kompositip hawa nafsu di atas. Hawa sebetulnya selalu dikaitkan dengan udara. Namun, bisa juga dihubungkan dengan dunia batin sebagai suasana atau kondisi yang selalu menghiasi kepribadian seseorang. Sedangkan nafsu selalu mengacu pada keinginan atau hasrat yang kuat untuk memiliki atau melaksanakan sesuatu.

Dari penjelasan singkat itu, maka hawa nafsu adalah sebuah perasaan atau kekuatan emosional yang besar dalam diri seorang manusia; berkaitan secara langsung dengan pemikiran atau fantasi seseorang. Hawa nafsu merupakan kekuatan psikologis yang kuat yang menyebabkan suatu hasrat atau keinginan intens terhadap suatu objek atau situasi demi pemenuhan emosi tersebut. Keinginan dan kegairahan untuk mendapatkan sesuatu itu terekspresi dalam banyak hal, seperti pengetahuan, kekuasaan, kekayaan, kenikmatan, seks, dll.

Nafsu merupakan salah satu ‘fakultas mental (psikis)’ yang terdapat dalam tubuh manusia.  Tidak ada manusia yang tidak ‘dilengkapi’ dengan anasir nafsu dalam hidupnya.  Bahkan ada teoretisi sosial yang dengan lantang membentangkan ‘peran vital’ elemen nafsu dalam seluruh dinamika dan kompleksitas perkembangan personalitas seorang anak manusia. Tegasnya, manusia tanpa nafsu tentu bersifat pincang dan mandul. Pertanyaannya adalah apakah hidup manusia ‘didikte’ sepenuhnya oleh nafsu-nafsu itu? Bagaimaba semestinya manusia merespons dan mengolah dorongan dan gejolak yang bersifat naluriah itu? 
Salah satu nafsu yang kerap menghadirkan bahagia sekaligus bencana bagi manusia adalah nafsu seks (libido). Gerakan untuk menyalurkan libido itu terkadang muncul sangat kuat melampaui energi normal kemanusiaan untuk mengontrolnya. Jika kita cerdas mengolahnya, maka hasrat libidinal itu membawa rasa bahagia. Namun, ketika nafsu itu gagal dikendalikan, maka derita dan malapetaka siap menyergap kehidupan kita.

Jauh hari, Plato, salah satu filosof terbesar sepanjang sejarah filsafat sudah mengingatkan kita akan dua jenis energi (nafsu) yang bersemayam dalam tubuh manusia. Gagasan Plato itu diperdalam oleh Sigmund Freud, seorang ahli psikoanalisa pada jamannya. Kedua energi yang mereka maksudkan adalah thanatos dan eros. Thanatos adalah energi atau naluri yang bersifat destruktif (merusak). Sedangkan eros adalah nafsu yang bersifat konstruktif (membangun). Tentu, sangat riskan jika unsur thanatos mendominasi kepribadian manusia.

Nafsu birahi misalnya, bisa menjadi ‘pedang bermata dua’ bagi manusia. Nafsu itu bisa menjadi ‘motor penggerak’ kehidupan di satu sisi dan serentak penghancur kehidupan manusia pada sisi yang lain. Freud, bahkan secara bombastis mengafirmasi bahwa ‘syahwat’ itu dianggap sebagai ‘jantung peradaban’.  Maju mundurnya peradaban sangat bergantung pada bagaimana manusia menggunakan nafsu seksnya untuk tujuan yang yang bersifat ppsitif, kreatif, produktif, progresif dan konstruktif. Itu berarti bahwa jika manusia ‘salah menggunakan’ perangkat nafsu itu, maka ongkosnya adalah kehancuran peradaban.

Saya kira gagasan Freud ini, kendati banyak dikritik, tetap aktual dan relevan untuk situasi kita di jaman posmodern ini. Kasus pemerkosaan, pelecehan seksual, cabul, pornografi, pedofilia dan perilaku deviatif lainnya seperti yang diekspos oleh berbagai media, memperlihatkan gejala kemerosotan peradaban tersebab oleh ‘kegagalan’ manusia mengendalikan hawa nafsu yang berkecamuk dalam dirinya. Akar dari kejahatan itu adalah ‘terlalu dominannya’ unsur thanatos (nafsu destruktif) atau meredupnya peran eros dalam tata perilaku kita.

Dugaan kasus pelecehan seksual yang dilakukan RH, seorang guru komite, terhadap ASP, murid kelas IV di SDN Munting Renggeng, Kec. Masang Pacar seperti yang dilansir oleh beberapa media daring hari-hari ini, hanya salah satu contoh bagaimana manusia tidak cerdas dalam mengolah hawa nafsunya. Nafsu itu, sejatinya adalah ‘alat bantu’ untuk memanifestasikan ‘rasa kemanusiaan’ kita kepada orang lain. Pemenuhan hawa nafsu seks tidak bisa dijadikan tujuan (ends) yang menyebabkan ‘orang lain’ (lawan jenis) dijadikan obyek pelampiasan hasrat sesaat.