'Status'-mu Merobek Jantungku (Sebuah Otokritik)

Advertisement

Masukkan script iklan 970x90px

'Status'-mu Merobek Jantungku (Sebuah Otokritik)

Admin
Monday, November 4, 2019



 
(Foto/komodopos.com).

'Status'-mu Merobek Jantungku (Sebuah Otokritik)

Oleh: Sil Joni

Sebuah kata, ketika 'dipakai' dalam konteks tertentu, terasa lebih bertenaga. Ketika kata dirangkai dalam kalimat, roh makna bersemayam dalam kata itu. Roh kata itu berpotensi 'mengalirkan bisa (racun) kepada orang lain. Amukan roh makna dalam sebuah 'kata', jika tidak dikendalikan, maka bisa melukai bahkan 'membunuh' sesama secara mengenaskan. Ungkapan 'kata lebih tajam dari pedang', menemukan pembenarannya di sini.

Rezim otoriter dan represif biasanya 'sangat takut' dengan kata dari para juru-warta, penulis atau pengarang. Mengapa? Dalam dan melalui kata, kursi kekuasaan yang mereka 'gauli' selalu diganggu. Mereka tidak pernah merasa 'nyaman' menduduki kursi itu sebab 'pisau kata' terus mengiris dan mencincang daging 'status quo' yang dikultuskan sang penguasa.

Sebetulnya, ancaman yang ditebar lewat kata, tidak hanya terarah ke penguasa (politik), tetapi juga terarah ke semua manusia yang menjadikan 'kata' sebagai medium ekspresi komunikasi dan bereksistensi. Teknologi digital yang terjelma dalam berbagai platform media sosial, menjadi 'lokus ideal' mendiseminasi benih teror yang terdapat dalam 'kata' itu.

Tidak ada lagi yang 'dirahasiakan' di era digital saat ini. Semua aktivitas baik yang terjadi di ranah publik maupun dalam domain privat serta 'riak-riak emosi personal' di balik aneka kegiatan itu, diekspos secara agresif di jagat maya. Kita memuntahkan semua jenis rasa termasuk api cemburu, iri hati, dengki, dendam dan amarah, disalurkan di dunia maya itu.

Kita tidak peduli dengan 'efek destruktif' dari setiap diksi vulgar yang kita tembakan kepada 'orang lain'. Kepuasan batin yang bersifat semu dan egoistik dijadikan 'panduan' dalam menulis cuitan atau status di media sosial.

Betapa sering kita mendengar 'gosip' perihal pribadi yang 'terlukai atau tersengati' oleh status yang kita tulis di facebook, instgram dan WA. Bahkah dalam beberapa kasus, ada yang mengambil tindakan fatalis 'bunuh diri' tersebab oleh 'besarnya luka batin' dari pedang kata yang terhunus dalam facebook.

Tentu saja, nukilan refleksi ini menjadi 'bahan evaluasi' bagi diri saya sendiri yang hampir setiap hari 'berbagi perpektif' di ruang facebook. Saya tidak tahu pasti apakah 'diksi' yang kami pakai 'merobek jantung' dari pribadi tertentu atau tidak. Namun, satu hal bahwa kita tidak bisa 'menghidar' dari penggunaan teknologi digital sebagai medium sosialisasi dan komunikasi yang efektif saat ini.

Mungkin yang perlu diperhatikan adalah sikap kehati-hatian dan bijaksana dalam menggunakan berbagai kanal media sosial. Sedapat mungkin kita mengontrol diri untuk tidak terjebak dalam 'perang rasa' dengan orang lain dalam ruang maya itu. Ketika unsur rasa dikredit secara berlebihan, maka peluang untuk 'melukai hati' lawan bicara menjadi terbuka lebar.*

*Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik lokal Manggarai barat. Tinggal di Labuan Bajo.