Warisan Intelektual Yang Sangat Berharga (Sebuah Catatan Kritis-Apresiatif)

Advertisement

Masukkan script iklan 970x90px

Warisan Intelektual Yang Sangat Berharga (Sebuah Catatan Kritis-Apresiatif)

Admin
Friday, November 1, 2019




Warisan Intelektual Yang Sangat Berharga
(Sebuah Catatan Kritis-Apresiatif)

Oleh Sil Joni

Kita patut mengapreasiasi dua ‘penulis muda’ kita, Syamsudin Kadir dan Muhammad Achyar yang sudah menghasilkan salah satu karya intelektual nan monumental dalam bentuk buku dengan judul yang begitu simpatik dan atraktif: ‘Selamat Datang di Manggarai Barat’. Mereka sudah ‘mewariskan’ kado akademik yang berharga bagi  perkembangan dan kemajuan kita di daerah ini. Saya kira ini sebuah tradisi intelektual yang perlu dirawat secara kreatif dan produktif.

Dua sosok muda ini layak dibaptis sebagai ‘penulis/pengarang’ sebab mereka sudah menghasilkan tulisan dalam bentu buku. Dengan demikian, mereka sudah masuk dalam barisan intelektual Mabar produktif dan kreatif yang dari segi jumlah tidak seberapa. Para penulis atau pengarang yang berasal dari Mabar bisa dihitung dengan jari. Kultur literasi belum terlalu mengakar di sini. 

Buku ini, rencananya akan dibedah pada Hari/Tanggal, Sabtu, 2 November 2019 di Hotel Pelangi Labuan Bajo. Keynote speaker dalam acara itu adalah Agustinus Ch. Dulla, bupati Manggarai Barat (Mabar). Ibu Maria Geong, wakil bupati Mabar dan Pater Marsel Agot didaulat sebagai ‘pembanding’ terhadap dua narasumber utama, yaitu kedua penulis di atas. Sedangkan, Harun Al-Rasyd, salah satu tokoh muda Mabar akan bertindak sebagai ‘pemandu diskusi’.

Menghadirkan nama-nama beken sekelas Gusti Dulla, Maria Geong dan Marsel Agot, mengindikasikan betapa ‘dahsyatnya’ nilai guna buku ini untuk publik Mabar. Ketiga figur publik itu boleh didaulat sebagai ‘representasi’ kehadiran seluruh elemen masyarakat untuk ikut memperbincangkan ‘isi buku’ untuk kebaikan publik di Mabar.

Sayang sekali, kami belum ‘mengunyah’ isi kepala dari kedua penulis itu sebab wujud fisik dari buku itu belum sampai ke tangan kami. Kenyataan itu, tidak menyurutkan ‘gairah akdemik’ kami untuk memberikan semacam ‘catatan sekenanya’ perihal buku itu dan kegiatan ‘pembedahan’ terhadap substansi buku yang dimaksud.

Pertama, saya agak ‘terganggu’ dengan tema acara seperti yang tertera dalam undangan. Sekadar bertanya kepada penulis berdua, apakah ada korelasi yang erat antara ‘isi buku’ dengan tema: “Mencintai Manggarai Barat Tanpa Tapi”? Di mana ‘titik simpul’ yang bisa menghubungkan antara judul buku dengan pengangkatan tema yang cukup reflektif dan inspiratif ini?

Kedua, dari sub-judul buku ini, terlihat sekali ‘titik berangkat’ eksplorasi dan elaborasi akademik yang berpusat pada sejumlah obyek wisata unggulan di Mabar. Kedua penulis sepertinya ‘membuka pintu’ bagi khalayak pembaca untuk bertamu ke Mabar sebab di daerah ini terdapat sejumlah spot wisata kelas dunia seperti Taman Nasional Komodo dengan binatang Komodo sebagai ikon utamanya. Sekadar ingin tahu saja, apakah kedua penulis juga sudah ‘memperkenalkan’ keunggulan lain Kabupaten ini dalam buku itu? Saya kira observasi dan investigasi yang lebih detail tentang ‘tanah Mabar” yang melampaui aset wisata, bisa menjadi ‘nilai plus’ dari buku itu. Mengapa? Sudah terlalu banyak ‘karya intelektual’ yang mengupas tentang berbagai obyek kebanggaan itu kepada publik pembaca terutama kepada para calon wisatawan.

Ketiga, pada kulit sampul bagian belakang, kedua penulis memberikan ‘ruang khusus’ kepada sejumlah elit nasional untuk memberikan semacam ‘komentar berbobot’ atas buku ini. Kutipan ide brilian dari sejumlah nama tenar itu, tentu menjadi semacam ‘promosi atau iklan gratis’ yang coba mempersuasi pembaca untuk menggauli buku itu secara tuntas. Siapa yang tidak kenal dengan sosok sekelas Karni Elyas, Gabriel Mahal, Goris Mere, dan Gusti Dulla? Tentu tidak semua buku atau lebih tepat penulis bisa mendapatkan ‘pikiran bernas’ dari tokoh-tokoh hebat itu. Saya tidak tahu apa alasan mendasar sehingga ‘mereka’ ikut nimbrung dalam membagikan pandangan terhadap buku itu. Hanya penulis berdua yang tahu pasti tentang ‘hubungan inteketual’ mereka terhadap sejumlah figur top itu. Tegasnya, dari sisi ‘marketing’, buku ini cukup berhasil.

Keempat, buku ‘Selamat Datang di Manggarai Barat’ ditulis oleh dua orang dengan latar profesi yang berbeda. Syamsudin Kadir adalah ‘putera Cereng asli, yang memiliki bakat luar biasa dalam bidang tulis-menulis. Sudah puluhan buku dan ratusan artikel ilmiah populer yang dihasilkan dari tangannya. Reputasi dan debutnya sebagai ‘penulis/pengarang’, tentu tidak diragukan lagi. Sedangkan Muhammad Achyar adalah seorang ‘advokat muda’ dan berdomisili di Jakarta. Kolaborasi antara seorang ‘penulis dengan pengacara’ dalam meghasilkan karya akademik yang ‘enak dibaca’, menjadi bahan pertimbangan untuk melahap buku ini secara utuh. Sebagai salah satu calon pembaca, tentu saya tidak sabar lagi untuk mengecap ‘menu intelektual’ yang disajikan kedua penulis dalam buku itu. *

*Penulis adalah pemerhati masalah sosial-politik, tinggal di Labuan Bajo