Ketika Bupati Ikut 'Tanda Tangan'
Oleh: Sil Joni
Mungkin sebagian publik agak 'terkejut' dengan berita penahanan Camat Boleng oleh pihak penyidik Kepolisian Daerah (Polda) NTT beberapa hari yang lalu seperti yang dilansir Harian Victorynews, (27/11/2019). Apalagi, setelah ditelusuri, "Surat Pernyataan" dari 23 Tu'a Golo/Riang dalam kesatuan Wa'u Pitu Gendang Pitu tanah Boleng, nama Bonaventura Abunawan (BA), selaku Camat Boleng, tidak terlihat. Lalu, mengapa pihak Polda 'menahan' orang yang namanya tidak tertera dalam sebuah 'Surat Pernyatan' yang diduga palsu itu?
Secara logis, kita pasti mengambil kesimpulan bahwa para pihak yang membubuhkan tanda tangan dalam surat itu, (koordinator Adat Ulayat Mbehal, 23 tu'a golo/Riang se-kecamatan Boleng, dan Bupati Mabar) harus ditahan dan mesti bertanggung jawab terhadap dugaan pemalsuan itu. Sekadar informasi, nama Agustinus Ch. Dulla, bupati Mabar ada dalam surat itu sebagai pihak 'yang mengetahui'. Pertanyaannya adalah mengapa bukan bupati dan para tu'a Golo itu yang ditahan?
Sebetulnya, kisah tentang penahanan BA oleh polda NTT, hanya satu adegan dari satu kasus besar perihal 'klaim tanah ulayat di Rangko yang sekarang dimiliki PT PLN tempat dimana dibangun PLTMG Rangko' sekarang ini. Media daring KitaIndonesia.com (28/11/2019) melansir penjelasan Bone Bola (BB) dan Hendrik Jempo (HJ), tokoh adat ulayat Nterlaing soal 'kisah Surat atau Dokumen' yang dianggap palsu itu.
Pihak Nterlaing sebelumnya, demikian BB 'kalah perkara' di tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi Kupang soal 'tanah ulayat Nterlaing' yang dijual ke PT PLN oleh YU, LL, FL, dan I. Kekalahan itu, dalam tafsiran mereka akibat penggunaan Surat Pernyataan yang diduga palsu soal hak dan batas tanah ulayat Mbehal, termasuk tanah yang diklaim oleh Nterlaing di Rangko itu.
Itu berarti pihak pengguna Surat Pernyataan adalah YU, LL, FL, dan I sedangkan pihak yang dirugikan oleh Surat itu adalah komunitas adat ulayat Nterlaing. Lalu, apa hubungan Surat Pernyataan yang diduga palsu itu dengan Camat Boleng? Apa peran yang dimainkan oleh BA dalam 'perkara tanah Rangko' itu sehingga dia ditahan atas dugaan pemalsuan dokumen berupa Surat Pernyataan itu?
BB menuturkan bahwa ketika mereka kalah di tingkat Pengadilan Tinggi, secara kebetulan mereka 'menemukan' sebuah dokumen berupa 'Surat Pernyataan' dari 23 Tu'a Golo seKecamatan Boleng dan ditandatangani oleh Bupati Mabar yang dipakai 'sebagai alat bukti' soal klaim kepemilikan lahan yang disengketakan itu.
Pihak Nterlaing coba 'menggeledah' perihal keabsahan surat itu dengan mewawancarai para Tu'a Golo yang menandatangani surat itu. Ternyata, mereka tidak pernah membuat 'Surat Pernyataan' itu. Mereka hanya mendatangani surat dengan keterangan yang berbeda-beda seperti Pembebasan Lahan Pantura, Pemekaran Desa, dan format surat yang bergaris-garis. Siapa yang mendatangi para 'tu'a Golo' dan meminta 'tanda tangan' sesuai dengan 'isi surat yang berbeda itu'? Hasil penelusuran BB dkk, BA sendiri dalam kapasitas sebagai Camat Boleng sendiri yang mendekati dan meminta 23 tu'a Golo itu untuk membubuhkan 'tanda tangan di atas meterai dan cap jempol'.
Dari cerita ini, saya kira kendati BB menegaskan bahwa pihak Nterlaing tidak pernah melaporkan BA ke polda NTT, saya menduga 'alur kisah yang sama' termuat dalam laporan mereka terhadap empat terduga pengguna Surat Pernyataan palsu itu. Atas dasar itu, hemat saya, tentu Polda NTT mempunyai alasan yang cukup untuk menahan BA sebagai 'terduga' dalam kasus pemalsuan dokumen itu.
Jika kisah di atas benar, pertanyaan kita adalah mengapa Surat Pernyataan yang diduga palsu itu 'tiba di meja bupati' dan tanpa ragu membubuhkan tanda tangan pada surat itu? Siapa yang mengantar dan menjelaskan 'isi surat itu' sehingga bupati tergerak hati untuk menandatangani surat itu? Apa konsekuensi hukum ketika bupati 'turut membubuhkan tanda tangan' pada sebuah surat yang direkayasa?
Pertanyaan-pertanyaan ini hanya bisa 'dijawab' oleh pihak penegak hukum. Karena itu, kita berharap agar para penegak hukum mesti bekerja profesional dalam 'membongkar semua adegan kepalsuan itu' dan menjerat 'para aktor intelektual' yang terlibat dalam mendesain dan mengeksekusi proses pembuatan 'Surat Pernyataan' yang diduga palsu itu.
Namun, satu hal yang patut kita diskusikan adalah 'soal' keterlibatan pemimpin politik dalam 'melegitimasi' sebuah Surat Pernyataan' yang berlaku intern dalam sebuah 'wilayat adat'. Tentu saja, diskusi itu berangkat dari pengandaian bahwa 'bupati Mabar' terlibat aktif dalam penandatanganan surat itu. Apakah bupati 'diwajibkan' untuk memberikan semacam legitimasi sebuah keputusan yang bersifat adat. Apakah bupati itu, termasuk puncak hierarki dalam sistem wewenang dalam masyarakat adat?*
*Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik lokal Manggarai Barat. Tinggal di Labuan Bajo.