Guru dan Pendidikan Psikoseksual (Ketika Siswi Dijadikan 'Budak Seks')
Oleh: Sil Joni
Memalukan. Guru yang seharusnya memberikan perlindungan dan menghadirkan ‘rasa nyaman’ bagi para murid, ternyata tampil sebgai ‘predator seks yang buas’. Muridnya dijadikan ‘terget pelampiasan’ naluri animalitas.
Kata terlampau miskin untuk mengekspresikan 'kemarahan kita' terhadap perilaku seorang guru olahraga di salah satu Sekolah Dasar (SD) yang tega menjadikan salah satu siswinya budak seks. Seperti yang dilansir oleh media daring floreseditorial.com edisi 4/11/2019 guru yang berinisial RH memperlakukan ASP, siswi kelas IV SDN Munting Renggeng, Masang Pacar sebagai 'pemuas libido' semata.
Tindakan pelecehan itu sudah berlangsung lama, sejak 'korban' duduk di kelas III SD. Korban menuturkan bahwa RH sudah enam kali melakukan 'aksi bejat itu' selama kelas III dan hampir setiap hari selama kelas IV ketika korban berada di sekolah. Jenis tindakan 'pelecehannya' bermacam-macam, yaitu meraba 'alat vital korban', memasukkan penis pelaku ke mulut korban (oral seks), memegang penis pelaku, dan mengeluarkan sperma ke mulut pelaku. Sadis!
Tindakan dari oknum guru komite itu sulit dicerna nalar sehat. Satu-satunya penjelasan yang mungkin diterima adalah RH mengidap 'kelainan seksual' yang dalam psikologi seksual disebut paedofilia. Sebuah simpton patologis di mana 'anak kecil' menjadi kiblat ketertarikan seksualnya.
Namun, fenomen 'abnormalitas' itu tidak menjadi 'alibi' untuk membiarkan pelaku lolos dari jeratan hukum. Apapun alasan dan motifnya, actus pelecehan itu sama sekali tidak bisa diterima apalagi dibenarkan. Tindakan itu tetap dikategorikan sebagai aksi kriminalitas yang sangat keji dan sadistis. RH dengan tahu dan mau 'menodai' perangkat cinta sang anak dan dirinya untuk memuaskan 'naluri seks' yang liar.
RH rupanya sangat 'cerdik' memanipulasi relasi emosional antara guru dan murid. Hubungan fungsional itu ternyata 'belepotan' dengan lumpur nafsu. RH memperlakukan ASP sebagai objek. Martabat ASP di mata RH setaraf dengan benda yang gampang 'diatur' sesuai dengan selera libidinalnya.
Saya kira kasus yang dibuat oleh RH ini tentu menjadi 'tamparan serius' untuk para guru sekaligus sebagai 'cermin' untuk melihat seberapa tulus kita menjalin relasi afektif dengan para siswa/i kita. Kedekatan dan keintiman dalam berkomunikasi tidak boleh ditafsir secara liar sebagai kesempatan untuk 'merenggut kesucian' seorang murid yang berbeda jenis kelamin dengan guru.
Sudah saatnya para guru dan para calon guru mengikuti semacam ‘pengolahan nafsu birahi’ secara teratur. Selain itu, wacana tentang “tes orientasi seksual”, perlu diintroduksi dan dimplementasikan dalam dunia pendidikan keguruan saat ini. Kita tidak ingin ‘citra guru’ terus ternoda oleh ulah segelitir oknum yang memang memiliki ‘kelainan psikoseksual’. Penerapan pendidikan psikoseksual yang produktif tidak hanya relevan tetapi cukup urgen saat ini.*
*Penulis pemerhati masalah sosial dan politik lokal Manggarai Barat. Tinggal di Labuan Bajo.