Srikandi Kandidat Bupati: di Manakah Kau?

Advertisement

Masukkan script iklan 970x90px

Srikandi Kandidat Bupati: di Manakah Kau?

Admin
Wednesday, November 13, 2019



Srikandi Kandidat Bupati: di Manakah Kau?

Oleh: Sil Joni

Sejatinya, publik tak bisa 'memaksa' seorang calon bupati untuk menjelaskan secara detail berbagai strategi dan metode berpolitik yang bakal digunakan dalam 'merebut kursi kekuasaan'. Namun, saya berpikir, tidak salah juga jika publik memberikan semacam 'sumbang saran' kepada para calon tersebut, sebab bagaimana pun juga muara dari semua perjuangan itu adalah pemenuhan perbaikan mutu kesejahteraan publik.

Fokus tulisan ini adalah 'gugatan kritis' terhadap kandidat perempuan yang belum memperlihatkan 'gebrakan politik' yang spektakuler untuk menjadi 'petarung ulung' dalam kontestasi politik di level lokal. Tanpa mengabaikan 'hak politik personal' dari para kandidat itu, tulisan ini diharapkan bisa 'membuka mata' mereka untuk segera bergerak ke tempat politik yang lebih dalam.

Para srikandi politik dari Mabar, masih 'malu-malu' untuk mendeklarasikan diri di ruang publik sebagai kandidat bupati Mabar periode 2020-2025. Suara perempuan politik, terdengar sayup-sayup. Mereka belum memberikan 'kepastian politik' perihal besarnya harapan mereka untuk menahkodai kabupaten Pariwisata ini.

Sebelum berdiskusi lebih jauh, kita perlu bertanya apakah ada sosok perempuan (srikandi) yang 'berani' bertarung dengan politisi maskulin dalam kontestasi Pilkada Mabar ini? Sejauh ini, ada dua nama yang sempat 'dibicarakan' dalam berbagai media lokal yang sudah memberikan semacam 'sinyal politik' untuk menjadi aktor utama dalam gawe politik lima tahunan itu. Dua srikandi itu adalah ibu Maria Geong, wakil bupati Mabar saat ini dan ibu Andi Riski Nue Cahya, satu-satunya DPR(D) perempuan di Mabar saat ini.

Akan tetapi, hingga detik ini, pergerakan politik mereka belum mengalami perubahan yang signifikan. Kita belum tahu, partai atau gabungan partai mana yang bakal mengusung mereka dan siapa ‘kekasih politik’ masing-masing dari dua sosok perempuan politik ini. Singkatnya, kesan saya, mereka 'kurang agresif (bergairah) dalam memenangkan pertarungan politik di musim kontestasi yang digelar beberapa bulan lagi.

Dibandingkan dengan para kandidat maskulin, saya kira mereka 'relatif tertinggal' sebab para calon laki-laki sudah bergerak lebih jauh. Umumnya para politisi maskulin sudah 'membentuk semacam kerangka pasukan' yang siap diterjunkan ke medan pertarungan politik itu.

Karena itu, saya berpikir, sudah saatnya 'para srikandi' yang mau mengabdi lewat politik kekuasaan, mesti segera 'keluar' dari kalkulasi politik yang bersifat parsial dan subyektif agar momentum politik itu tidak hilang atau terlepas dari genggaman. Politik elektoral tentu membutuhkan racikan strategi yang tidak muncul tiba-tiba, tetapi buah dari kontemplasi dan militansi dalam mengambil keputusan yang tepat pada situasi dan kondisi yang tepat pula.*

Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik. Tinggal di Labuan Bajo