![]() |
(Foto/komodopos.com). |
Tanah Kerangan: 'Maling Teriak Maling'
Oleh: Sil Joni
Energi diskursus publik khususnya warganet di level lokal, sebagiannya tersedot oleh 'pesona konfilik Tanah Kerangan' yang berlumuran 'kabut misteri'. Perang klaim kebenaran akan status kepemilikan legal 'tanah itu', mengalir deras dalam ruang publik hari-hari ini.
Hilir mudik argumentasi dan terminus tecnicus dalam bidang hukum, budaya, politik, sosiologi, antropologi, ekologi dan pariwisata, menjadi 'menu diskusi' yang sayangnya tak menemui titik konvergensi. Publik semakin bingung sebab ada banyak pribadi atau kelompok yang tampil dengan menggotong 'wacana otoritatif, "dan serentak coba 'menegasi' perspektif dari kubu yang lain. Ada semacam anggapan bahwa 'tafsirannyalah' yang paling kredibel.
Saling melempar 'stigma' negatif sebagai 'kelompok pencuri tanah' (mafia tanah) menjadi 'bumbu penyedap' dalam duel wacana itu. Dengan penuh percaya diri kita 'mensetanisasi' pribadi atau kelompok lain sebagai bagian dari sindikat pertanahan yang modusnya ditengarai kian canggih saat ini.
Kita tidak tahu siapa sebenarnya yang menjadi perampok tanah itu. Semua pihak merasa 'tak bersalah' atas klaim kepemilikan tanah itu sebab ditopang dengan 'tumpukan bukti yuridis' yang valid. Setiap 'serangan pihak lawan'dengan mudah digunting dan ditangkis dengan argumentasi hukum yang menurut mereka sangat kokoh.
Ada kelompok yang sangat bernafsu 'mengarak kasus itu' ke meja pengadilan agar 'tabir kebenaran lekas tersingkap'. Mereka sangat yakin bahwa 'dewi iustitia' itu berpihak pada kelompok itu sebab mengantongi ónggokan berkas yang bernilai yuridis. Tegasnya, lensa positivisme hukum menjadi 'parameter absolut' untuk mengkapling sepotong kebenaran di balik kisah perebutan 'hak kepemilikan atas tanah sengketa itu.
Sementara itu, Pemda Mabar yang diharapkan menjadi 'pelerai konflik' justru tampil melempem. Pemda yang dalam berbagai versi cerita, mempunyai alasan yang cukup untuk mendaku status kepemilikan atas tanah itu, masih bungkan dan bahkan posisi tawarnya cenderung melemah. Ada kesan Pemda 'seolah tak berdaya' menghadapi gempuran wacana dan strategi pihak tertentu yang bernafsu 'memburu aset vital itu'.
Persoalan kian runyam ketika berhembus rumor bahwa pihak Badan Pertanahan (BPN) Mabar juga bererang dalam pusaran arus mafia itu. Lembaga itu terus diserang sebab kinerjanya dalam hal penerbitan sertifikat belopotan dengan kontroversi. Ketika evidensi legalitas atas tanah itu bermasalah, masihkah kita optimis bahwa hanya otoritas hukum yang bisa menghadirkan solusi? Bukankah klaim kepemilikan di atas 'berkas hukum yang timpang' juga secara moral tidak bisa dibenarkan.
Jika argumentasi hukum dijadikan 'tameng' untuk melenyapkan 'jejak kebenaran' dari tanah itu, maka saya kira itu adalah salah satu tindakan mafia (kejahatan) juga. Kita tidak 'menghargai aspek kesucian dari hukum'. Hukum hanya dijadikan ínstrumen' untuk 'memfasilitasi hasrat dalam menggapai interes ekonomi-politik subyektif yang lebih menggiurkan.
Karena itu, alih-alih 'membuka misteri kebenaran', diskusi kita dalam berbagai kanal media sosial, justru terperosok dalam aksi 'maling teriak maling'. Ambisi untuk memeluk kebenaran atau minimal 'membuka jejak kisah' di balik status kepemilikan atas tanah itu, semakin sulit dipeluk. Kebenaran kian kabur dan menjauh sebab kita lebih bersemangat 'melemparkan buih penghakiman negatif' terhadap partner diskusi.
Kasus 'tanah Kerangan' dalam bacaan saya, lebih dari sekadar perkara hukum. Di atas tanah itu, saya menduga, bola interes politik dari pribadi dan kelompok tertentu, bergulir liar. Tanah itu kelihatannya bisa menjadi 'arena pertarungan kepentingan ekonomi politik', para elit mulai dari level lokal hingga nasional. Aroma politis begitu menyengat di balik menggelindingnya 'bola panas, Tanah Kerangan yang fenomenal itu.
Kita menunggu saja, seperti apa ending dari 'permainan atau lebih tepat drama politik' di atas lahan Kerangan. Publik tetap menjadi penonton setia di balik sandiwara itu.
*Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik lokal Manggarai Barat. Tinggal di Labuan Bajo